
Bandung, Jumpaonline – Sehari sebelumnya, Rabu malam tanggal 6 November 2024, pukul 19.00 WIB kubuka laman sosial media Instragramku dengan tampilan utama berupa suguhan postingan terbaru dari akun Instagram @aksikamisanbdg. Postingan itu memberikan informasi mengenai seruan aksi yang hendak diadakan Kamis, 7 November 2024 dengan tajuk utama Aksi Kamisan Bandung ke-416 “Dosa-Dosa Prabowo dan Jejak Berdarah Soeharto” bertempat di Taman Pasupati Kota Bandung. Lekas saja aku berniat dalam hati untuk dapat menghadiri dan membersamai aksi kamisan kali ini.
Selepas rampung perkuliahan hari itu, sekitar pukul 11.00 WIB aku sudah berdiam diri di sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Pasundan (LPM Unpas), yang bertempat di Kampus II Unpas Tamansari, menanti waktu kumpul di titik aksi tiba. Berdasarkan informasi yang telah tersebar, para peserta aksi dapat mulai merapat ke lokasi pada pukul 16.00 WIB. Pada sela-sela waktu menunggu, aku mencoba menuntaskan tugas-tugas redaksiku dengan menyunting beberapa tulisan yang harus segera dipublikasikan.
Tak terasa, waktu pun menunjukan pukul 16.35 WIB, sontak aku cukup terkesiap melihat keterangan waktu tersebut. Langsung saja aku bergegas turun ke bawah parkiran bersama rekanku, Doni Setiawan yang akan turut menemani peliputan. Tempat yang menjadi titik kumpul tidak begitu jauh dari sekretariat kami berada, tepatnya hanya butuh waktu sekitar lima menit dengan menggunakan kendaraan roda dua. Namun, sore ini jalanan cukup rapat disertai lalu lintas padat, sehingga memperlama waktu tempuh kami menjadi lima menit lebih panjang.
Sesampainya di tempat tepat pada 16.45 WIB, suasana petang itu dihiasi langit lembayung sore yang indah, namun tak lama kemudian awan kelabu menyeruak mengantarkan ribuan rintik hujan turun membersamai isu-isu kelam yang diangkat dalam bahasan aksi ini. Beberapa rekan-rekan pegiat maupun peserta aksi kamisan sudah berkumpul. Kawan-kawan dari berbagai kalangan, mulai dari Mahasiswa, Pekerja Lepas, Jurnalis, serta teman-teman Pers Mahasiswa (Persma) turut mengakrabkan suasana aksi.
Lima belas menit setelahnya, Aksi Kamisan ke-416 pun diawali dengan orasi yang diisi oleh pegiat aksi kamisan yaitu Fay. Seorang pemuda yang telah menjadi bagian dari aksi kamisan selama kurun waktu empat tahun, terhitung sejak 2020 silam ia bermula.
Walaupun guyuran air hujan semakin deras membasahi jalanan di depan pandangan kami, Fay berdiri berhadapan dengan massa aksi di bawah naungan payung hitam yang selalu menjadi properti khas peringatan aksi kamisan. Ia menyampaikan, bahwa aktivasi ruang seperti aksi kamisan ini hadir guna memperbesar ruang ketidakmungkinan atau rasa skeptis dalam melihat kondisi pemerintahan negara saat ini.
“Ruang-ruang seperti inilah yang perlu kita gaungkan, teman-teman di kampus terus bergiat, membuka lapakan literasi, dan ruang diskusi di berbagai sektor. Seperti yang kita pahami bersama bahwa perjuangan kita ini tidak akan mudah,” tuturnya.
Catatan Hitam Kedua Aktor Besar Negara
Selain informasi seputar waktu pelaksanaan aksi kamisan pada postingan yang sempat disebutkan sebelumnya, poin-poin mengenai catatan hitam dari dua aktor besar negara pun turut dilampirkan pada dua slide berikutnya postingan tersebut, di antaranya menyinggung kasus-kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) pada masa lampau.
Fay, pegiat aksi kamisan bersedia menyempatkan waktunya ketika dihampiri oleh beberapa rekan Persma untuk diwawancarai. Kami semua melipir ke tempat yang lebih kondusif agar sesi wawancara dapat berlangsung dengan efektif.
Sebagai pertanyaan pembuka, aku mencoba mencari tahu informasi di balik alasan yang melandasi diadakannya aksi kamisan kali ini mengangkat tajuk “Dosa-Dosa Prabowo dan Jejak Berdarah Soeharto”. Fay seketika pula memberi tanggapan sembari menyandarkan tubuh ke tembok penyangga di belakangnya. Ia turut menjelaskan bahwa hal ini kembali kepada tujuan aksi kamisan itu sendiri, sebagai upaya untuk merawat ingatan terhadap kasus-kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu. Hal ini terutama ditujukan bagi kita sebagai individu maupun membangun kesadaran kolektif yang dapat disebarluaskan.
“Menolak lupa terkait pelanggaran-pelanggaran berat HAM di masa lalu yang tentunya dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Prabowo dan Soeharto memiliki jejak berdarah sebagai aktor atau dalang dari kasus-kasus pelanggaran berat HAM di masa silam, (melihat hal itu-red) aksi ini adalah bagian dari refleksi diri kita sendiri dan teman-teman untuk dapat disebarluaskan kembali,” jelasnya.
Lebih lanjut lagi, menyinggung perihal ramainya beberapa komentar pada postingan tersebut, yang menanyakan bukti-bukti dari informasi seputar catatan hitam kedua aktor negara yang dimaksud. Fay kembali lagi menyampaikan pernyataannya secara tegas bahwa dalam menanggapi ini, banyak hal yang dapat ditelusuri, mulai dari bagaimana relasi serta kedekatan yang sempat terjalin di antara keduanya, lalu belum adanya mekanisme secara hukum yang mampu menuntut mereka hingga saat ini.
“Selama tidak dibuktikan lewat pengadilan mereka (bukan-red) pelaku, kita akan terus menduga mereka adalah aktor dari banyaknya kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu. Hingga saat ini, terbukti belum ada mekanisme secara yudisial atau secara hukum untuk menuntut mereka,” tegasnya.
Ia pun menambahkan, faktor relasi kuasa serta latar belakang militer yang dimiliki oleh kedua aktor negara ini menjadi hal yang menyulitkan mereka untuk dapat dibawa ke hadapan meja pengadilan. Ia pun menyoroti dalam suatu konsep militerisme, terdapat adanya rantai pertanggungjawaban komando yang tentu harus dijalankan.
“Satu konsep di mana rantai pertanggungjawaban komando harus ada dalam setiap apa yang mereka lakukan, walaupun misalkan saat ‘penculikan 98’ itu dilakukan oleh anak buahnya, tapi ya tentu saja rantai pertanggungjawaban komando itu harus dipertanggungjawabkan,” pungkasnya.
Sudut Pandang Keresahan Elemen Masyarakat
Seruan untuk mengajak masyarakat kalangan apapun agar dapat bergabung dengan peringatan Aksi Kamisan ke-416 ini tertuang dalam redaksi persuasif pada caption postingan informasi aksi ini diadakan, dengan mempersilakan kawan-kawan yang hendak bergabung untuk dapat meluapkan segala bentuk amarah, keresahan, serta aspirasinya pada negara yang tak pernah memihak kepada rakyat.
Rony, peserta aksi dan juga seorang pekerja lepas yang turut tergerak untuk dapat bergabung dengan peringatan aksi kamisan ini terlihat sedang bersiap untuk meninggalkan lokasi, saat aku hendak menghampiri dengan bermaksud menanyakan kesediaannya untuk sesi wawancara. Untungnya, dia mengiyakan untuk menjadi narasumber tambahan guna mengisi informasi dalam tulisan ini.
Setelah meminta izin, lalu memperkenalkan diri, masuklah kami pada sesi wawancara. Pertanyaan pertama yang memantik rasa penasaranku adalah hal apa yang membuatnya tergerak untuk turut hadir dalam peringatan aksi kamisan hari ini. Ia senantiasa menjawab pertanyaanku dengan seksama, bahwasanya, bentuk dari kesadaran itulah yang mengantarkan ia untuk hadir serta membersamai berlangsungnya aksi ini. Ia sedikit menyampaikan bahwa setelah melihat adanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi disekitarnya mampu membuat ia belajar dan menyadari sesuatu.
“Pelanggaran-pelanggaran yang sering terjadi seperti awal-awal tahun 2017 ketika Tamansari digusur dan mulai belajar, oh ternyata semenjak orde baru tumbang, pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi di mana-mana gitu,” ucapnya.
Menanggapi hal utama yang disoroti dalam peringatan aksi kamisan kali ini, mengenai catatan hitam dua aktor negara yang sempat dibahas di atas. Rony secara gamblang menyampaikan bahwa, terlepas siapapun “aktornya” pasti setiap masing-masing di antara mereka memiliki catatan hitamnya tersendiri. Tak dapat dipungkiri, entah berasal dari latar belakang apapun, para aktor pemimpin negara mempunyai celah serupa.
“Mau Soeharto, Prabowo, ataupun Presiden-Presiden sebelumnya punya catatan hitam masing-masing. Jokowi sebagai presiden, walaupun memiliki latar belakang sipil tetap memberikan jabatan-jabatan strategis kepada pelanggar HAM. Nah, kita tidak bisa memungkiri bahwa background sipil pun masih melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap masyarakat,” ungkapnya.
ADINDA MALIKA TRYCAHYANI
Editor: NIPA RIANTI NUR RIZKI DEWI