Demokrasi adalah konsep yang seringkali dijadikan jargon dalam berbagai sistem pemerintahan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang diklaim dapat memberikan kekuasaan kepada rakyat. Frasa terkenal “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” menjadi slogan yang mencerminkan idealisme demokrasi, menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses politik dan pengambilan keputusannya. Namun, kenyataannya, muncul pertanyaan, apakah demokrasi benar-benar mencerminkan kehendak dan aspirasi rakyat secara nyata, atau hanya berfungsi sebagai alat bagi penguasa untuk mempertahankan dan memperkuat kekuasaan mereka? Pertanyaan ini terasa menjadi semakin relevan ketika melihat adanya praktik-praktik yang merugikan integritas sistem demokrasi, seperti manipulasi pemilu, suara rakyat yang terabaikan, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pemimpin.
Oligarki dalam Demokrasi
Menurut Firman Noo, Kepala Puslit Politik LIPI, ada beberapa negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi namun terjebak dalam kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir individu maupun institusi yang memiliki kekuasaan sehingga menjadi akar bagi terciptanya oligarki, termasuk di Indonesia. Salah satu institusi yang turut berperan adalah partai politik. Pertanyaan yang kemudian kerap mengusik adalah bagaimana sebuah institusi demokrasi seperti partai bisa terjebak dalam lingkaran oligarki?
Dalam praktiknya, banyak keputusan politik di Indonesia diambil oleh segelintir orang ataupun institusi yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar, sehingga menciptakan oligarki yang mengakibatkan ketidakadilan bagi rakyat lainnya. Suara rakyat seringkali terabaikan, dan ketika kekuasaan terpusat pada elit, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas. Hal ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang sejauh mana demokrasi di Indonesia dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Berdasarkan hasil pengukuran indeks demokrasi versi Democracy Index yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Indonesia masih masuk dalam demokrasi cacat sepanjang 13 tahun pengukuran terakhir. Sejumlah peristiwa politik dan hukum kerap menjadi ”beban” bagi jalannya proses demokrasi di Indonesia. Sepanjang tahun 2023, misalnya, bagaimana sorotan publik pada institusi hukum yang dibalut politik cukup mewarnai sehingga isu pada erosi demokrasi Indonesia makin mencuat.
Masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang belakangan ramai ini seharusnya bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat kembali wajah demokrasinya. Namun sebaliknya, dengan adanya isu bahwa revisi Undang-Undang Pilkada berpotensi menghalangi partai politik tertentu dan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), tantangan untuk menciptakan demokrasi yang sehat semakin nyata.
Tanpa adanya kepemimpinan konstitusi yang kuat, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh, menjauh dari sistem politik kita saat ini, dan menjadikan aspirasi rakyat bukan lagi pusat perumusan legislasi dan kebijakan publik. Meskipun pada akhirnya masalah tersebut telah mereda, apakah selesainya permasalahan ini dapat menjamin demokrasi kita membaik, atau hanya sekedar untuk mengalihkan kegaduhan saja? Karena ini lebih dari sekadar isu di masa Pilkada. Ini soal bagaimana demokrasi kita dibajak oleh segelintir kelompok yang secara terus-menerus meremehkan nilai, etika, moral, dan konstitusi dengan cara berpolitik yang kotor hanya demi kepentingan dan keuntungan sendiri.
Gugat Oligarki, Pulihkan Demokrasi
Dampak oligarki terhadap demokrasi sudah sangat besar hingga menimbulkan rasa kekecewaan yang semakin besar di kalangan masyarakat Indonesia, yang merasa suaranya tidak didengarkan. Oligarki juga telah mengikis kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Ketika pemerintah dianggap dikendalikan oleh sekelompok kecil individu berpengaruh, hal ini dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap proses demokrasi.
Hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah yang dianggap dikendalikan oligarki diakibatkan adanya pembangkangan sosial. Masyarakat merasa tidak berdaya untuk melakukan perubahan, sehingga menimbulkan sikap apatis dan tidak terlibat dalam proses politik, meskipun sudah semestinya masyarakat ikut terlibat. Dalam konteks tersebut, bersamaan dengan wajah demokrasi kita yang terus memudar kian menjadi peluang besar untuk para elit penguasa untuk mengakarkan oligarkinya.
Dalam situasi di mana oligarki semakin mengakar, munculnya pembangkangan sosial menjadi hal yang hampir tak terhindarkan. Ketika suara rakyat terabaikan dan keputusan politik diambil tanpa melibatkan masyarakat, maka hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpuasan yang pada akhirnya dapat memicu gerakan protes dan aksi demonstrasi massal. Hal ini mencerminkan kekecewaan yang mendalam terhadap sistem pemerintahan yang dianggap tidak adil. Masyarakat yang merasa terpinggirkan dapat berbondong-bondong untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka, yang sering kali berujung pada konflik sosial.
Selanjutnya, oligarki tidak hanya mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, tetapi juga berdampak pada kualitas kebijakan publik. Ketika kebijakan dibuat oleh sekelompok kecil elit tanpa melibatkan masyarakat dan lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya, maka kebijakan tersebut cenderung tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat luas. Akibatnya, program-program yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi tidak efektif atau bahkan merugikan. Misalnya, penyaluran anggaran publik yang tidak transparan dan korupsi yang merajalela semakin memperburuk keadaan, sehingga menciptakan kesenjangan sosial yang lebih dalam. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk melibatkan atau cukup mendengarkan dan merespons aspirasi rakyat agar tidak terjadi permasalahan yang lebih besar.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi masyarakat sipil untuk bangkit dan berperan aktif dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Organisasi non-pemerintah, kelompok advokasi, dan individu harus bersatu untuk memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas. Dengan memanfaatkan platform digital dan media sosial, masyarakat dapat menyuarakan pendapat mereka dan menjangkau lebih banyak orang. Karena hanya dengan mengupayakan kesadaran kolektif ini yang dapat menjadi kekuatan yang mampu menekan elit politik untuk bertanggung jawab dan lebih memperhatikan suara rakyat untuk kembali ke wajah demokrasi.
ADE NURUL AULIA
Pengurus LPM ‘Jumpa’ Unpas
Editor: NIPA RIANTI NUR RIZKI DEWI
Referensi:
Fenomena Oligarki Partai (2019, Februari 28). Retrieved from
https://nasional.sindonews.com/berita/1382660/18/fenomena-oligarki-partai
Oligarki dalam Demokrasi Indonesia (2021, Maret). Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/368339140_OLIGARKI_DALAM_DEMOKRASI_INDONESIA
Pemilu 2024 dan Pertaruhan Demokrasi Indonesia (2024, Januari 17). Retrieved from
https://www.kompas.id/baca/riset/2024/01/16/pemilu-2024-dan-pertaruhan-demokrasi-indonesia