Halo aku Birama, selama ini Aku selalu bertanya-tanya, bagaimana rasanya menjadi seorang anak yang selalu dikasihi dan diperhatikan secara penuh oleh kedua orang tuanya, apakah itu terasa hangat? Entahlah, Aku tidak tahu. Kalian benar, berbeda denganku yang berbanding terbalik dengan itu semua, Aku selalu mendapatkan perlakuan yang tak pantas dari perilaku sebagaimana mestinya orang tua, karena konflik Ayah dan Ibuku, semua itu sirna bagai debu yang diterpa angin badai, terhambur dan tercecer tak karuan.
Ibu dahulu sangat mencintai Ayahku. Suatu saat, mereka terlena akan cinta yang begitu dalam dan terhanyut dalam hasrat yang begitu menggebu, hingga pada akhirnya gumpalan darahku hadir dalam rahim seseorang yang tak pernah menginginkan kehadiranku. Kalian benar lagi, Aku adalah seorang “anak haram.” Setelah kejadian itu, Ibu mati-matian meminta “Ayah” untuk menikahinya, tapi sayang, Ayahku menolak keras dan pergi begitu saja meninggalkan Ibu yang saat itu juga sedang mengandungku. Rasa benci Ibu terhadap Ayahku mengendap hingga mendarah daging, dan sialnya, Aku yang menjadi imbasnya.
“Assalamu’alaikum bu, aku pulang,” Aku masuk ke dalam rumah setelah pulang dari sekolah. Ternyata, lagi-lagi salamku tak dijawab olehnya. Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara keroncongan yang bersumber dari perut kecilku, memberontak meminta untuk segera diberi asupan pangan. Aku pun bergegas menghampiri ruang makan dan mengambil semangkuk nasi dengan beberapa lauk pauk yang sudah disediakan Ibuku. Walau enggan rasanya, tapi mau bagaimana lagi? Aku harus mengisi perutku yang lapar ini.
“Enak ya, pulang-pulang udah disediain makanan, bukannya kerja dulu nyuci baju kek nyuci piring kek, emang ya dasarnya sifat jelek Ayahmu tuh yang nurun ke anak haram kaya kamu, bikin Ibu tambah stress aja di sini,” cetus Ibu kepadaku saat Aku baru saja menyuapkan sesendok nasi ke mulutku. Tak lagi selera, Aku pun bergegas masuk ke kamar, berharap tak lagi mendengar ocehan kasarnya itu. Pikiran buruk terus melintas ke arahku hingga membuatku berandai-andai, “Andai saja aku seorang tunarungu, tak perlu lagi setiap harinya mendengar omongan itu,” gumamku dalam hati.
Keesokan harinya, Aku beraktivitas kembali, pergi bersekolah dan memulai hari-hari seperti biasanya. Sesampainya di sekolah, Aku langsung masuk ke dalam kelas dan duduk di bangku paling ujung ruang kelas, di mana hanya terdapat satu buah bangku saja. Ya, kalian tidak salah, Aku tak punya teman, bahkan sekedar teman sebangku pun Aku tak punya. Tibalah bunyi bel lonceng sekolah, tanda kegiatan pembelajaran akan dimulai. Guru pun masuk dan memberi tahu bahwa akan ada pementasan seni puisi dalam rangka hari Ayah se-dunia yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini. Aku yang saat itu masih duduk di bangku SMP lagi-lagi mendapat cibiran dari teman kelasku. Jangan kaget, di sana pun Aku mendapatkan perlakuan yang serupa karena statusku yang seorang “anak haram” ini sudah tersebar luas di seluruh penjuru sekolah. “Bu, kalau yang gak punya Bapak kaya Birama gimana?” Ucap temanku sambil terkekeh-kekeh menahan tawa. “Emang anjing!” Jawabku spontan saat mendengar kalimat busuk tak berperikemanusiaan itu. “Rama, jangan ngomong kasar! Memang Ayahmu gak pernah ngajarin sopan santun ya?” Ucap guru biadabku yang tak pernah tau kondisi mental murid-muridnya. Tak kusangka, kalimat yang lebih tidak sopan itu keluar dari orang yang katanya berpendidikan. Lagi-lagi Aku merenung dan berandai-andai kembali, “Seandainya aku seorang tunawicara, tak perlu lagi bicara kalimat busuk yang bisa saja menyakiti hati orang lain,” gumamku lagi dalam hati.
Akhirnya, jam pelajaran pun usai, tak perlu lama-lama, Aku cepat berkemas dan langsung pulang ke rumah karena tak kuasa melihat mata sinis yang seolah-olah merendahkan martabat dan harga diriku hanya karena Aku seorang anak haram. Saat sedang menuju ke rumahku, di jalan, lagi-lagi tatapan sinis itu diperlihatkan ke arahku, kali ini, tetanggaku yang melakukannya. Namun, kini yang berbeda, tatapan itu diiringi dengan obrolan halus yang memberitahu bahwa Aku adalah seorang anak yang patut dikasihani. Patut dikasihani katanya? Persetan itu semua! “Kalau saja aku seorang tunanetra, tak perlu lagi melihat tatapan sinis dan sorotan mata yang seakan menunjukkan keibaan penuh kebohongan itu. Tatapan mata yang membuat suasana menjadi canggung dan tak mengenakan,” ucapku dalam hati sambil mempercepat langkahku.
Baru saja gerbang halaman rumahku dibuka, Ibu menghampiriku dengan wajah amat kesal dan menamparku keras sambil berkata, “Memang anjing ya kamu! Anak gak tahu diuntung, udah disekolahin biar jadi anak yang penurut, malah bikin malu Ibu, siapa yang ngajarin kamu ngomong kasar ke temanmu? Kau tahu, seberapa malunya Ibu ketika Wali Kelasmu menelpon dan melaporkan perlakuanmu di kelas tadi? Tahu gitu kamu gak saya lahirin dari awal, biarin mati saja di rahim, dasar anak haram!” Ibu mengomel kepadaku, dan sialnya seluruh tetanggaku mendengar semua perkataan yang terlontar dari mulutnya. Tak kuasa menahan malu dan sakit hati, Aku lari pergi menuju tempat yang di mana selalu ku tuju kala gundah gulana, tepatnya, di pinggiran rel kereta api. Banyak alasan mengapa tempat itu yang akhirnya menjadi lokasi untukku bersinggah diri, salah satu alasannya karena suara bising gesekan antara roda dengan rel kereta api yang bisa menutup semua bisikan-bisikan biadab itu!
Sudah dua jam berlalu Aku termenung, memikirkan kembali mengapa Aku terlahir dan bernasib seperti ini. Sejak dilahirkan, Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan. Apakah memang hidupku sepenuhnya dikutuk oleh Tuhan? Oh Iya, ternyata anggapanku selama ini benar, Tuhan tak pernah hadir di kehidupanku, Tuhan tak pernah adil kepadaku. Jika Tuhan saja tidak berperilaku adil, maka Aku akan menggunakan caraku sendiri untuk mengadili hidup ini, menghilangkan nyawa demi mengakhiri segala bentuk penderitaan ini.
DONI SETIAWAN
Pengurus LPM ‘Jumpa’ Unpas
Editor: ADINDA MALIKA TRYCAHYANI