Potret Rati Maya saat mendongeng sebagai simbolis kejadian 1998 di Perpustakaan Ajip Rosidi Bandung, Minggu, 11 Februari 2024. (Alya Natasya/JUMPAONLINE)
Agenda diskusi buku pada siang pukul 14.00 WIB hari Minggu, 11 Februari 2024 dengan buku berjudul “Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998” telah terlaksana dengan baik. Bertempat di perpustakaan Ajip Bandung, ruang diskusi terbangun dengan cukup interaktif di antara peserta, ditambah dengan tutur gaya penyampaian para pemateri menjadi daya tarik tersendiri pada kegiatan ini.
Tidak hanya diskusi buku; workshop kliping serta lapakan buku menjadi agenda lain yang disuguhkan dalam acara tersebut. Workshop kliping merupakan agenda pertama yang dilakukan, dalam kegiatannya diajarkan bahwa kliping adalah media untuk menyusun sejarah. Awal mulanya peserta diminta untuk melakukan praktik pembuatan kliping, dari situlah antusiasme peserta cukup meningkat, tak sedikit dari mereka yang berlomba-lomba untuk mengajukan pertanyaan kepada narasumber bahkan menanggapi komentar narasumber.
Acara diskusi ini juga menyediakan buku-buku menarik yang lebih condong kepada sejarah, tak sedikit orang yang melihat-lihat dan membeli buku tersebut sebab menarik perhatian apalagi ada beberapa buku yang sudah usang namun sangat memiliki kesan sejarah. Walaupun acara utamanya adalah diskusi buku, tetapi dua hal tersebut juga membantu meramaikan ruangan tersebut.
Dramatical Reading dan Pantomim
Acara pertama dengan penampilan dramatical reading yang digabungkan bersama penampilan pantomim. Mereka beriringan melakukan penampilan, sang pelakon yang berteriak serta membacakan narasi dan pantomim memperagakan gerakan tersirat. Penampilan berlangsung dengan terus menggabungkan kalimat “Jika meninggal, di mana tubuhnya!” begitu lantang diteriakan oleh sang dramatical sembari berkeliling. Lalu ia membaca salah satu halaman buku “Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998”. Aksi yang dilakukan sang pantomim pun menggambarkan situasi dalam masa 1998.
Penguasa mengabaikan, tetapi demokrasi harus ditegakkan. Begitu yang disampaikan pada penampilan. Hingga diakhir muncul poster “Pulangkan mereka yang hilang” yang di awal-awal begitu lantang diteriakan namun kemudian semakin mengecil suaranya. Sontak hal tersebut membuat peserta diskusi buku bertepuk tangan.
Dongeng Kerajaan Sansita
Tak hanya itu, penampilan kedua yang sangat memberiku kesan. Dongeng yang dibawakan oleh Rati Maya, seorang seniman tutur yang sangat senang mendongeng “Aku mulai menggeluti fokusnya 2017. Awalnya karena dari kecil senang bercerita. Ketika akhir-akhir kuliah mulai menyadari ternyata passion ku di situ,” begitu tuturnya saat ditanya sejak kapan ia menjadi seorang seniman tutur. Rati juga bercerita bahwa ia ingin memberikan dongeng yang ringan dan singkat tapi mencakup semuanya.
Pada penampilannya, Rati memberikan dongeng tanpa judul sebab ia baru menyelesaikannya saat hari Minggu subuh tepatnya beberapa jam sebelum acara dimulai. Ia berkata bahwa sebetulnya ia baru diberikan tugas mendongeng 7 hari lalu yang mana menurutnya itu adalah waktu yang kurang untuk riset data terlebih dengan topik kejadian 1998. Dongeng yang ia berikan ia sensor dengan nama-nama lain dengan ‘simbolis kerajaan tikus’ sebagai kerajaan sansita. Perihal penamaan kerajaan sansita, Rati mengatakan bahwa tidak ada makna lain di balik nama tersebut sebab hanya yang terlintas dalam benaknya saja.
“Tadinya aku ingin bikin tokoh-tokoh kucing tapi baru ingat mereka bisa untuk tidak berkoloni, akhirnya mencari binatang untuk fabel binatang yang berkoloni. Tikus, sebagai simbol para koruptor dan sebagainya menurutku menarik,” ia juga setuju bahwa tikus sebagai simbolis yang rakus.
Kerajaan sansita dipimpin oleh seorang tikus bernama Bunto yang sudah menjadi raja selama 30 tahun lamanya. Bunto sebagai penguasa selalu memanfaatkan rakyat-rakyatnya. Ia juga memiliki ambisi yang kuat untuk berkuasa. Saat mendongeng, Rati memberikan simbolis ‘suara rakyat’ dengan kata ‘nyanyian rakyat’. Si tikus penguasa membenci nyanyian para tikus kecil sebab hanya tikus penguasa yang boleh bernyanyi. Rati menceritakannya dengan banyak simbolis-simbolis atau istilah untuk mensensor yang sesungguhnya.
Rati melanjutkan ceritanya dengan beralih ke para tentara tikus yaitu orse. “Orse aku ambil dari slang-in tim mawar terus aku ambil mawarnya dalam bahasa latin kan rosa atau rose gitu. Terus aku ambil anagram jadi orse,” ujarnya. Orse memiliki jendral bernama Obusa. Karena Bunto membenci suara rakyat, Obusa memerintah untuk memberantas nyanyian para tikus kecil. Melalui tangan kanannya yaitu Rimbo, Obusa memerintahkan untuk menculik tikus-tikus yang aktif bernyanyi dengan iming-iming akan memberikan apapun pada Rimbo.
Sebagai pendongeng, ia tidak hanya sekedar mendongeng saja. Tetapi Rati juga aktif melakukannya dengan simbolis menarik paksa peserta diskusi ke depan sebagai simbol penculikan. Rati mengibaratkan peserta diskusi sebagai para tikus kecil yang aktif bernyanyi, kemudian ia memarahi para tikus-tikus tersebut dan mengancam segala hal. Banyak tikus-tikus yang hilang dan tidak dikembalikan. Para tikus kembali bernyanyi lebih lantang sehingga Obusa seolah membuang diri dari kerajaan dan akhirnya Bunto si penguasa mengundurkan diri sebagai raja dari kerajaan sansita.
Penonton terpana dengan pertunjukan dongeng dari Rati. Setelah itu, terdengar dengan riuh dari arah penonton yang menggumamkan “merinding” pasca aksi dongeng tuntas. Tetapi, banyak juga dari mereka yang tertawa saat ditarik kedepan sebab terkejut. Di sisi lainnya, Rati tetap konsisten dan serius pada dongengnya, karena ia memang sudah riset dan latihan walaupun dalam waktu yang singkat tetapi ia memaksimalkannya.
Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 telah tergambarkan dalam tiga penampilan; dramatical reading, pantomim, dan dongeng. Tak sedikit dari peserta diskusi yang mengapresiasi dan merasa tergambarkan situasinya seperti apa. Acara diskusi ditutup dengan penampilan band dan berakhir sekitar pukul 19.00.
ALYA NATASYA
Pengurus LPM ‘Jumpa’ Unpas
Editor: PRITA STANIA AGUSTINA