Sumber: Pexels.com (SevenStorm JUHASZIMRUS)

Hujan basahi jalanan Kota Kembang tanpa ampun sejak tadi pagi. Ribuan bulir air jatuh di setiap atap bangunan. Tak ada yang berubah, kehidupan manusia tetap berjalan seperti biasa. Sulit. Aku bukan siapa-siapa. Hanya seorang penikmat atas berbagai peristiwa yang terjadi di depan mataku. Seringkali berjalan-jalan untuk mencari kisah dari setiap manusia. Namun, dari sekian banyak kisah, ada satu yang paling aku sukai. Hanya satu pikiranku, “Apakah manusia memang selalu separah itu?” 

Semua dimulai dari suatu rumah sakit tingkatan menengah, Rumah Sakit Keabadian, yang selalu sibuk di setiap harinya. Manusia-manusia yang sakit fisiknya akan berbondong dan mengantre dengan taat di ruang tunggu. Hati mereka diliputi perasaan cemas. Akankah mereka bisa berkehidupan normal seperti sedia kala ataukah kehidupan yang bahagia akan berakhir dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Aku menikmati setiap ekspresi yang manusia hasilkan di ruang tunggu. Ada sensasi menyenangkan kala kutatap manusia yang dipenuhi dengan rasa penasaran. Melihatnya saja sudah membuatku kenyang seratus persen.

Kegundahan sirna ketika mereka dihadapkan dengan kabar baik, sebuah kelahiran, misalnya. Manusia mungil itu berteriak sekencang mungkin untuk merayakan kehidupan baru. “Sayang sekali, kau tak tahu apa yang akan kau hadapi nanti, Nak. Tabahlah,” lirihku, mengasihani kedatangannya ke dunia. Manusia lain akan menangis haru, tubuhnya terlalu bahagia hingga terasa lemas dan tidak tersadar lagi. Berbeda ceritanya jika kabar buruk yang diterima. Mereka akan jatuh terduduk di lantai. Pikirannya teraduk sempurna, sibuk mencerna apa yang sudah ia dengar sebelumnya. Apa yang perlu disesalkan? Itu ‘kan buah dari bibit yang ia tanam sendiri. Kecuali jika memang ia sudah hidup dengan baik, manusia bisa apa?

Rumah Sakit Keabadian selalu ramai dengan manusia yang ingin pulih untuk mengembalikan kehidupannya seperti sedia kala. Banyak yang pada akhirnya tak pernah menginjakkan kaki untuk kesekian kali di tanah rumah sakit. Namun, tentu tetap ada manusia yang tidak pernah kembali ke rumahnya karena mereka menempati rumah baru yang sunyi. Begitulah kehidupan di rumah sakit. Kau hanya bisa menemukan dua kemungkinan disana.

Hanya berkisar lima meter dari kawasan rumah sakit, berdirilah satu gedung besar, Hotel Menangis. Tidak seperti namanya, bangunan itu selalu diisi oleh kebahagiaan manusia. Setiap hari, akan ada manusia yang berlalu-lalang dengan perasaan senang. Bisa saja manusia itu akan memulai kehidupan baru atau mungkin malah sedang rehat dari kehidupan yang kejam. Manusia disana bersukacita mendapatkan pelayanan dari manusia lain. Aku menikmati pula pemandangan ini. Memperhatikan manusia yang sedang berbahagia itu sangat menyenangkan, ya. Aku jadi ingin merasakan kehidupan manusia. 

Hotel Menangis menyajikan berbagai macam kemewahan bagi manusia. Makanan enak hasil karya koki bintang lima, pemandangan yang indah, dan alunan musik khas orang Eropa pada zamannya. Tak luput arsitekturnya yang megah makin memamerkan unsur fantastis dengan hiasan lampu-lampu permata di setiap ruangan. Nuansa keemasan yang lekat turut berjasa menjadikan hotel itu semakin glamor. Setiap kamar di Hotel Menangis menjanjikan kebahagiaan, walaupun sebenarnya hanya ada kepalsuan disana.

Setiap malam petugas hotel akan menjamu pengunjung dengan makan malam paling berkualitas. Para pengunjung akan menikmati setiap gigitan dan mengunyahnya sepelan mungkin agar lidahnya merasakan belaian duniawi lebih lama. Mereka terbuai, tong kosong itu pada akhirnya terisi penuh. Setelah puas makan, tentu mereka memerlukan kesegaran untuk memenuhi nafsu lapar yang lain. Maka dipanggillah gadis muda ke dalam tiap-tiap kamar mereka. Mengunci pintu, kemudian bersenang-senang sampai pagi menjelang. Diantara tangan yang sibuk menjamah, ada satu botol penuh kenikmatan menemani mereka semalaman penuh. Begitulah adanya kehidupan di hotel mewah. Kau bisa menemukan satu kesimpulan disana.   

Langit masih diselimuti kehitaman. Tidak ada bintang-bintang yang mengisi kegelapan. Kala itu, seorang pria tergopoh-gopoh memasuki Hotel Menangis. Pakaiannya terlihat sangat berantakan. Pikirannya melayang, sudah tidak ingat lagi dunia. Tatapannya kosong dengan diisi sedikit kehampaan. Petugas resepsionis memberikan akses kepada pria itu untuk naik ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera melepas kemeja putih dan dasi merah kemudian melemparkannya ke sembarang arah. Dipandangnya tubuh penuh luka dalam cermin besar yang terpampang di dekat ranjang. “Kok bisa sih gue kalah judi lagi? Sialan!” Pria itu menggumam marah.

Aku masih ingat betapa jelas tekanan yang terlukis di wajah pria itu. Benaknya hanya diisi oleh kemarahan. Pria itu bergegas pergi ke kamar mandi. Hendak menghilangkan aroma kekalahan dari tubuh sebelum sang lawan dapat mengendusnya beberapa jam lagi. Pria itu segera merebahkan diri di ranjang setelah urusan pembersihan diri selesai. Kesunyian malam justru membuat otaknya sibuk berputar mencari cara agar dapat panen uang seperti beberapa tahun lalu. Aku yakin pria itu akan mengerahkan seluruh tenaga bagi kefanaan. Mempertaruhkan emas hanya demi kekosongan semata. Baginya uang adalah kehidupan. Dengan uang, ia dapat memenuhi kehidupan sehari-harinya yang glamor. Ia terlalu fokus pada diri sampai-sampai tidak sadar telah merugikan orang lain. 

Pada jam yang sama, Ruang Instalasi Gawat Darurat diisi oleh satu keluarga korban tabrak lari. Sebut saja keluarga itu dengan sebutan ‘Keluarga Bedjo’ yang terdiri dari ayah dan ibu yang berumur tiga puluh lima tahun, satu anak perempuan berumur sepuluh tahun, dan satu balita laki-laki. Sayangnya, sang Ibu dan adik balita harus berpulang. Sedangkan, sang ayah langsung dinyatakan koma setibanya di rumah sakit. Anak perempuan itu bernasib tak lebih baik dari yang lain. Kondisinya terbilang cukup kritis dan harus kehilangan mata kanan akibat benturan keras saat mobil terguling. Menurut salah satu warga yang mengawal ambulans, ia melihat mobil Kijang merah milik mereka sudah hancur tergeletak di jalanan yang terkenal sepi. 

Kala itu aku berdiri di depan pintu Instalasi Gawat Darurat, memandangi Keluarga Bedjo satu per satu diangkut menuju ruang tindakan. Aku menatap mereka nanar, tapi sebuah senyum tersungging di bibirku. Ada sesuatu yang menarik dibalik peristiwa ini. 

Pukul satu malam, mereka dipindahkan ke ruang perawatan, terkecuali sang Ibu dan adik balita. Pihak rumah sakit sedang berusaha untuk menghubungi sanak saudara Keluarga Bedjo. Sayangnya, dua ponsel milik mereka di Tempat Kejadian Perkara ditemukan dalam keadaan rusak total. Rumah sakit pasti membutuhkan waktu untuk menghubungi pihak keluarga. 

Selang beberapa jam kemudian, kondisi sang ayah menurun drastis akibat luka yang ia alami. Tubuhnya sudah tidak dapat menoleransi rasa sakit. Bunyi monitor pasien kian melemah, sampai terdengar bunyi panjang tak berujung yang memekakkan telinga. Tangan para perawat dengan telaten melepaskan semua alat yang sudah menyangga tubuh rapuh pria berumur tiga puluh lima tahun itu. Mata terpejam itu takkan pernah terbuka lagi untuk selamanya. Perjuangannya dalam menghadapi kehidupan harus diakhiri dengan ketidakadilan. Kini hanya tersisa seorang anak perempuan yang sedang berjuang melawan maut sendirian.

Pihak rumah sakit sudah menghubungi kepolisian agar kasus ini dapat segera ditangani. Aku memang bisa melihat dari kedua sisi, tapi tetap saja bertanya-tanya akankah keadilan bisa ditegakkan. Untuk menuntaskan rasa penasaran, sesekali aku berdiam di kantor polisi untuk mengamati kinerja para polisi yang menangani kasus Keluarga Bedjo. “Sepertinya memang tidak usah berharap pada mereka,” komentarku. Mereka memang menerima laporan dari pihak rumah sakit, tapi dompet mereka terlalu tipis sehingga tidak berselera untuk menyelidiki. Yah, andai saja orang-orang tahu bagaimana sikap para polisi disana. 

Di bawah mendungnya langit, masih ada kemuraman seorang manusia yang mampu mengalahkan luasnya karpet biru itu. Bibirnya tak berhenti mengomentari jalanan Kota Kembang yang macet di akhir pekan. Kecelakaan disebabkan oleh suatu kecelakaan antar mobil. Pria itu tertegun memperhatikan garis polisi yang membentang. Bodohnya! Ia baru saja teringat sesuatu. Tidak hanya berkendara sambil mabuk, kemarin ia melakukan hal yang jauh lebih buruk. Terlintas dalam benaknya bagaimana kondisi mobil Kijang merah saat terakhir kali. Kemarin, kemarahan menutupi hati nuraninya. Benaknya diisi dengan perasaan cemas karena tak ingin tidur di balik jeruji besi. Namun, aku sudah menduga jalan mana yang akan ia ambil. Tentu saja, uang! Pria itu tersenyum licik, inilah saatnya uang menjadi sang penyelamat.

Singkat cerita, polisi tetap mengusut kasus walaupun progresnya sangat lambat. Mereka mengumpulkan bukti hanya untuk formalitas semata. Sampai akhirnya tibalah hari dimana nama pria itu ditetapkan sebagai tersangka. Polisi mendatangi kediaman si pelaku, Hotel Menangis. Polisi menggerebek lantai paling atas, yakni lantai khusus untuk sang pemilik hotel. Ketika sudah berhadapan dengan petugas, ia menawarkan sesuatu yang mampu membuat para polisi ingkar dari pekerjaannya. Mata para polisi itu berbinar! Inilah hal yang sudah mereka tunggu sedari awal. Terjadilah persetujuan haram diantara mereka. Dengan mudahnya keadilan diperjual-belikan. Mata hukum sudah tidak melindungi lagi manusia yang tidak bersalah. Waktu kian berjalan, kini pria itu terus melanjutkan kehidupan gelapnya tanpa merasa bersalah. Ketika anggota terakhir Keluarga Bedjo menghembuskan napas terakhir, ia masih hidup dalam kebahagiaan tiada akhir sampai hari ini. Tidak peduli, asalkan hidupnya berjalan baik-baik saja. Inilah akhir kisah pria itu dan ketidakadilan yang didapatkan oleh Keluarga Bedjo. 

Setelah kasus Keluarga Bedjo, aku terus mengembara dan menyusup ke kehidupan manusia lain. Satu kesimpulan yang kudapat, manusia adalah makhluk yang paling berkuasa di bumi. Mereka mampu mendapatkan apapun, tidak peduli seberapa salah perlakuan mereka terhadap orang lain. Kejadian jual-beli keadilan seringkali terjadi. Aku penasaran di bagian bumi manakah yang tanahnya dihidupi oleh keadilan. Mungkin saja hal itu hanya ada di negeri dongeng. 

“Apakah manusia memang selalu separah itu?” 

 

NIPA RIANTI NUR RIZKI DEWI

Calon Anggota Muda LPM ‘Jumpa’ Unpas

Editor : CANDRA OKTA AHMADI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *