Tangkapan layar Athaya Nadiya (kiri atas) selaku Moderator acara, Herien Puspitawati (kanan atas) selaku Dosen FEMA IPB, Maya Septiyana (kiri bawah) selaku Analisis Kebijakan Bidang Peningkatan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Halimah Wafiah (kanan bawah) selaku Menteri Kebijakan Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor saat menjadi pembicara pada kegiatan webinar yang  diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen Institut Pertanian Bogor bertajuk “Peran Perempuan di Ranah Publik” secara daring pada Minggu, 7 Maret 2021. (Iqra Ramadhan Karim/JUMPAONLINE)

Bogor, JumpaonlineHimpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen Institut Pertanian Bogor (IPB) menggelar webinar nasional pada Minggu, 7 Maret 2021 yang bertajuk “Peran Perempuan di Ranah Publik“ secara daring melalui Zoom Meeting dan live streaming melalui Youtube. Diskusi yang membahas tentang perempuan yang mempunyai peranan dalam ranah publik ini, diisi oleh Herien Puspitawati selaku Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB, Maya Septiyana selaku Analisis Kebijakan Bidang Peningkatan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, juga Halimah Wafiah selaku Menteri Kebijakan Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB sebagai pembicara.

Halimah Wafiah, Menteri Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB menyatakan, perempuan mempunyai karakter atau keunikan dengan caranya masing-masing. Semua bersatu dalam ‘sama’ dan ‘beda’ yang masing-masing punya porsinya. Ketika membicarakan stigma perempuan di ranah kampus, isu yang selalu beredar ialah mengapa perempuan tidak ada yang memimpin, jawabannya bisa jadi dari para perempuan itu sendiri yang tidak mau maju dan tidak mau ambil peran di ranah kampus.

“Terkait stigma, sebenarnya lebih kepada siap atau enggak. Karena, kan itu lingkungannya kebanyakan laki-laki ya. Suara kita tetap di dengar kok, asalkan apa yang kita sampaikan berisi dan dapat dipertanggungjawabkan,“ ujar Halimah.

Sementara itu, Herien Puspitawati, Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB mengungkapkan, perempuan berperan dalam dua ruang lingkup atau ranah. Yaitu pada ranah domestik, dan ranah publik. Ketika membicarakan gender laki-laki dan perempuan, memang ada sebuah dikotomi. Akan tetapi, bukan untuk bersaing. Melainkan, berbagi keseimbangan untuk mencapai harmonis. Seperti balancing work and family, sebuah paradigma tradisional dan modern yang mengaktualisasikan kompetensinya di sektor publik. Sehingga perempuan bisa berada di ranah kerja. Semakin berhasil perempuan di ranah ketenagakerjaan, tentunya memberi kesempatan kepada perempuan lain, untuk membersamai laki-laki dalam mendukung pembangunan bangsa.

“Harus adanya kemitraan gender antara laki-laki dan perempuan. Dan ada dua hal untuk menguatkan perempuan dalam berperan, yaitu menguatkan perempuannya itu sendiri, dan menguatkan keluarga juga masyarakat. Carilah suatu teknik atau strategi untuk menjangkau individu dan keluarga, supaya mindset ini berubah,” tutur Herien.

Selain itu, Maya Septiyana selaku Kementrian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak menambahkan, sumber daya manusia di Indonesia hampir sama secara jumlah antara lelaki dan perempuan. Terdapat 133,54 juta perempuan dan 136,66 juta laki-laki. Saat  ini Indonesia berada di posisi 75,24% terkait dengan Indeks Pemberdayaan Gender. Disebutkan, dalam Regulasi Nasional Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, adanya sebuah strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah sebagai bentuk pembangunan inovatif dan adaptif, menuju masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Keberhasilan PUG ini ditandai dengan, terintegritasnya isu gender kedalam sistem perencanaan dan penganggaran program kegiatan di Kementrian atau Lembaga, dan organisasi perangkat Daerah.

“Dengan berdasarkan data saja, banyak sekali gap antara lelaki dengan perempuan. Kebijakan yang dibuat oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melihat berdasarkan data. Tetapi, ketika data membuktikan bahwa masih ada gap antara laki-laki dan perempuan, artinya ada sesuatu yang salah. Para-para pengambil kebijakan mungkin yang ada di Kementrian, Provinsi, Kabupaten atau Kota tidak memahami akan hal ini,” jelas Maya.

 

IQRA RAMADHAN KARIM
Calon Anggota Muda LPM ‘Jumpa’ Unpas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *