Sumber: irom.wordpress.com

Bandung, JumpaonlineKlab Jazz dan Komunitas Layar Kita menggelar diskusi film dokumenter Thelonious Monk: Straight, No Chaser di Institute Francais d’Indonesie (IFI) Bandung pada Senin, 9 Oktober 2017. Pemutaran dan diskusi film dilakukan dalam peringatan 100 tahun Thelonious Monk yang merupakan pianis dan komposer jazz yang sangat berpengaruh di dunia.

Thelonious Monk: Straight, No Chaser adalah film produksi 1988 yang berisi footage penampilan Monk bersama bandnya di New York, Atlanta dan Eropa. Tidak hanya footage, di sini juga ditampilkan wawancara orang-orang terdekat Thelonious Monk. Straight, No Chaser dibuat berdasarkan arsip footage yang ditemukan di sebuah kantor televisi.

“Film ini adalah berkah bagi pemerhati Jazz, jarang sekali kita peroleh sebuah dokumenter tentang Monk,” ujar Dwi Cahya Yuniman, pendiri Klab Jazz saat mengisi diskusi di acara tersebut.

Film diawali saat Monk menari diiringi musik oleh bandnya, kemudian ia kembali duduk ke kursi dekat sebuah grand piano untuk memainkan instrumen tersebut. Monk memang dikenal sebagai pianis yang  tiba-tiba menari saat sedang tampil. Kemudian film dilanjutkan dengan menceritakan masa kecil Monk dan perkembanganya sebagai musisi jazz.

Straight, No Chaser berpusat  pada perjalanan Thelonious Monk saat menggelar tur. Sebagian besar film dokumenter ini menyajikan Monk menampilkan karya-karyanya  atau komposisi orang lain. Saat memainkan piano, Monk dikenal dengan teknik piano yang tidak konvensional. Karena hal itu, banyak pendengar awam sulit mencerna musik Monk.

“Bila pendengar awam menyaksikan penampilan Monk pasti mereka merasa terganggu, karena teknik permainan monk tidak biasa. Saat dia bermain banyak sinkonpasi yang muncul dengan tidak terduga,” ucap Dwi.

Tidak hanya mempertontonkan performa di atas panggung, Straight, No Chaser menyajikan Monk saat offstage juga. Berbagai hal ditampilkan saat bagian offstage ini, diantaranya mempertontonkan tindakan-tindakan aneh Monk saat di luar panggung. Keluarga Thelonious Monk dan beberapa pengamat beranggapan bahwa Monk memiliki semacam penyakit kejiwaan, tapi tidak jelas penyakit kejiwaan apa yang diderita Monk.

“Banyak seniman besar  yang mengalami hal itu (penyakit kejiwaan). Meski begitu, bagi saya hal tersebut tidak membuat karya-karya beliau dekaden,” ucap Dien Fakhri Iqbal, Psikolog Musik yang menjadi pemateri di kegiatan ini.

Iqbal menambahakan apa yang dilakukan Monk dalam berkarya harus diapresiasi. Thelonious Monk tidak hanya menciptakan sebuah karya untuk hiburan semata. Tapi dalam karyanya terdapat unsur spiritual,

“Contohnya komposisi Misterioso. Dalam karya itu terdapat suasana mistis. Aura karya ini sangat terasa. Dia (Monk) bisa membuat komposisi yang membuat orang menjadi damai,” kata Iqbal.

EGI BUDIANA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *