Di tengah bisingnya perbincangan politik elektoral 2014 ada masalah memprihatinkan yang gagal diatasi oleh pemerintahan pada periode sebelumnya, yaitu pelanggaran hak sipil terutama masalah pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB). Dalam Ringkasan Eksekutif Laporan KBB, hasil dari survei yang dilakukan SETARA Institute, menunjukkan selama tahun 2013 telah terjadi 222 peristiwa pelanggaran KBB dengan 292 bentuk tindakan yang tersebar di 20 provinsi. Angka pelanggaran tertinggi terjadi di Jawa Barat dengan 80 peristiwa pada tahun 2013. Masih dalam temuan yang dilaporkan SETARA Institute, dari 292 bentuk pelanggaran KBB, terdapat 117 tindakan yang melibatkan para penyelenggara negara.
Terminologi “pelanggaran oleh negara” mengacu pada disiplin hak asasi manusia yang tertulis dalam International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan lahirnya UU No. 12/ 2005. Bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh negara yaitu: (a) tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya pembatasan,pembedaan,campur tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan seseorang dalam beragama/berkeyakinan (by commission), (b) dengan cara membiarkan hak-hak seseorang menjadi terlanggar (by omission) termasuk membiarkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak diproses secara hukum, dan (c) dengan cara membuat peraturan yang memberikan peluang bagi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (by rule/judiciary), termasuk pernyataan provokatif pejabat publik.
Sedangkan ada tiga klasifikasi pelanggaran yang dilakukan warga negara terhadap warga lainnya yaitu (a) tindakan kriminal berupa penyerangan tempat ibadah, intimidasi, kekerasan fisik, dan lain-lain, (b) tindakan intoleransi, serta (c) condoning oleh tokoh masyarakat. Di media massa kita sering mendengar atau melihat sendiri kejadian tersebut, namun sayangnya tidak pernah ada kelanjutan informasi tentang apa yang terjadi selanjutnya, karena hanya diangkat secara temporal. Tidak semua orang tahu apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa bisa terjadi? Siapa yang diserang dan siapa yang menyerang? Media hanya menampilkan baku hantam yang berakibat pengerusakan. Tidak jelas apakah kasus itu sampai ke pengadilan dan para korban mendapatkan perlindungan serta haknya yang dilanggar kembali seperti seharusnya, berita itu berakhir menjadi opini liar di masyarakat.
Kegagalan Negara dan Kebingungan Publik
Mandegnya proses rekonsiliasi membuka peluang kembali terjadinya tindakan serupa dan yang lebih ironis para pelaku akan lebih percaya diri melakukannya karena negara membiarkan. Terbukti dengan tindak pelanggaran yang masih sangat tinggi, yaitu rata-rata 18,5 peristiwa dan 24,33 tindakan setiap bulan pada tahun 2013. Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali melontarkan argumen umat Kristiani “mendiskriminasi diri mereka sendiri” dalam kasus pelarangan dan penghambatan pendirian tempat ibadah, yang tidak bisa dianggap remeh adalah ajakannya terhadap para penganut Islam Syi’ah Sampang untuk bertobat. Lalu dengan sangat luwes mengatakan bahwa “…Kerukunan beragama di Indonesia terbaik di dunia”, sungguh jauh dari kenyataan. Pendeknya, menteri agama sebagai representasi negara yang mengayomi seluruh kelompok agama/keyakinan di Indonesia telah gagal melakukan tugasnya.
Kemudian muncul pertanyaan mengapa di era yang di klaim demokratis ini tindak pelanggaran hak sipil terus berlangsung? Kemana para pegiat demokrasi dan pengkaji ilmu sosial? Padahal ada banyak term tolerance yang dicetak tebal dalam konstitusi, apakah para ilmuan sosial akan terus memandang ini sebagai kelalaian pemerintah dan tidak ada hubungannya dengan relasi politik yang lebih luas.
Praktik Intoleransi dalam Lingkungan Akademik
Aktor utama dalam tindakan ini adalah kelompok keagamaan dan militer dalam bermacam bentuk namun tetap berada pada satu garis komando, yaitu mengeliminasi siapapun yang mereka anggap menyebarkan ajaran sesat dan gerakan yang membawa ide tentang persamaan dan kebebasan. Pada tahun 2013, ada 59 peristiwa tindak pelanggaran KBB yang menimpa jemaah Ahmadiyah, 48 peristiwa yang menjadikan umat Kristiani sebagai korban dan 23 peristiwa yang dialami jemaah Syi’ah, juga masih banyak aliran keagamaan dan individu yang menjadi korban, namun ketiganya itu menjadi yang paling sering diamuk oleh kelompok-kelompok vigilante yang semakin kuat dan menjamur dimana-mana hari ini. Tidak terkecuali di dalam institusi pendidikan yang menjunjung tinggi kebebasan akademik.
Dalam lingkungan akademik yang seharusnya lebih mengedepankan kerja otak dari pada otot, tidak jarang kita menemui kasus serupa, memang tidak sampai terjadi kekerasan secara fisik, namun pelanggaran tetap saja pelanggaran jika mengebiri hak individu atau kelompok lainnya. Menurut Guntur Romli, Aktivis Senior Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam kesempatannya pada diskusi “Kekerasan Sektarian Berlatar Belakang Agama” di FISIP UNPAS (27/03/2014) mengatakan bahwa, kelompok Islam Model Baru (IMB) di Indonesia yang lahir karena ekses pergolakan politik di Timur Tengah berhasil masuk kedalam lingkungan akademik dengan membangun gerakan dakwah di kampus, yang dikenal sebagai kelompok Usroh dan lembaga dakwah kampus. Pengaderannya mengambil model Ihwanul Muslimin di Mesir dan mempopulerkan buku jihadis Islam dari Timur Tengah.
Gerakannya berkembang begitu cepat dengan tujuan politik yang terukur, kita bisa menarik garis merah untuk mengulur relasinya dengan gerakan di mainstreet pada sikap mereka yang secara terang-terangan ataupun tidak, mendukung tindak kekerasan yang terjadi melalui penyebaran gagasan, hate speech, hingga berani melakukan pelarangan diskusi atau kegiatan lain yang masih berjalan dalam koridor akademik, kasus yang terbaru adalah pelarangan diskusi Liberalisme di kampus UI, Depok yang digagas UI Liberal & Democratic Study Club, pembubaran diskusi buku “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia” Jilid IV karya Harry A Poeze di Surabaya dan pencekalan Ulil Abshar Abdalla yang di jadwalkan hendak memberikan ceramah tentang “Demokrasi di Negara-negara Muslim” di UIN Pekanbaru.
Kita akan sangat mudah menjumpai gerakan-gerakan itu dengan berbagai macamnya yang mengusung jargon anti-pluralisme, anti-demokrasi, anti-liberalisme, anti-komunisme, merasa benar sendiri, gemar mengafirkan, tidak mengakui keanekaragaman dan menuntut penyeragaman yang terlampau aktif mempromosikan intoleransi dan diskriminasi. Tidak cukup memandang fenomena pelanggaran KBB dengan remeh hanya sebagai perbedaan cara panjang terhadap agama ataupun kelalaian pemerintah semata, yang harus diperjuangkan civitas akademika hari ini adalah membuka ruang-ruang diskusi yang heterogen dan menjaga nilai kebebasan akademik untuk menciptakan lingkungan intelektual yang sehat.
RIFQI FADHLURRAKHMAN
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional 2012
Jabatan Editor Pasundan Center of Societal Studies (CSS Journal)