(www.alphasigmaphi.org)
(www.alphasigmaphi.org)

Sesuatu yang dianggap baik oleh seseorang, belum tentu dianggap baik pula oleh orang lain. Kacamata seseorang dalam memandang suatu kebaikan berbeda-beda, bisa jadi kebaikan subjektif namun menjadi keburukan objektif bagi orang lain. Hal yang lumrah terjadi di dalam kehidupan, logika berpikir seseoranglah yang mempengaruhinya.

Bila (memang) benar bahwa Tuhan menciptakan segala suatu di dunia ini berpasang-pasangan, maka tidak ada yang berdiri sendiri. Semua hal pasti memiliki pasangan, pendamping, ataupun lawan. Itu adalah hakikat, sesuatu yang keluar jadi jalur hakikat, apalagi hakikat Tuhan, berarti telah menyimpang dari kodrat Illahi. Yang menjadi tanda tanya bagi sebagian orang adalah, apakah pasangan itu sudah ditentukan oleh Tuhan, melalui perantara, atau manusia sendiri yang mencari pasangannya.

“Maha Mulialah Dia yang menjadikan segala sesuatu berpasang-pasangan,”  firman Allah dalam surat Yasin ayat 36. Bila diperhatikan secara seksama dari ayat tersebut, dikatakan bahwa segala sesuatu itu berpasang-pasangan, itu berarti semua hal. Bukan manusia saja yang berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Binatang, ada jantan dan betina. Alam, ada siang dan malam. Materi/barang, ada kohesi dan adhesinya. Tenaga/gaya, ada aksi dan reaksinya. Elektron, ada positif dan negatifnya.

Menjadi pertanyaan kembali, mengapa segala sesuatu itu (mesti) diciptakan berpasangan? Mengapa tidak satu saja? Bagaimana jadinya jika segala hal di dunia ini tidak ada pasangannya?

Mengapa Tuhan menciptakan Hawa, tidak hanya Adam? Jawaban paling sederhana, “Hawa tercipta di dunia untuk menemani sang Adam,” dendang Dewa 19 di salah satunya lagunya yang berjudul Dua Sejoli.

Ya, untuk menemani. Menemani Adam di muka bumi supaya tidak hidup sendiri. Menemani Adam menempuh kehidupan barunya di bumi (karena katanya Adam dan Hawa diusir dari surga). Karena Hawalah, Adam dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya, begitupun sebaliknya. Alhasil, dari pasangan Adam dan Hawa tersebut lahir anak, cucu, dan keturunan-keturunannya sampai berabad-abad lamanya hingga kepada kita, entah keturunan ke berapa yang hidup di abad 21 ini.

Pernahkah Anda membayangkan atau berpikir, jika Tuhan menciptakan sesuatu berpasangan, siapakah pasangan saya? Siapa pasangan kamu? Siapa pasangan kita? Apakah Tuhan telah menentukan siapa yang menjadi pasangan atau pendamping kita?

Ada ungkapan, “Jodoh itu di tangan Tuhan. Kalau dia memang jodohku, pasti kita dipertemukan kembali,” ucap seorang kawan yang belum lama putus dengan jodohnya. Bagi sebagian orang, ungkapan kawan tadi bisa diterima begitu saja.

Bagi saya, itu seperti ungkapan yang menyiratkan suatu kekecewaan, penyesalan, atau sedang mencobangabubungah diri sorangan (memaksakan diri supaya terlihat senang –Sunda). Bagaimana tidak, ‘jika dipertemukan kembali’, padahal hampir setiap hari dia bertemu di kelas kuliahnya, atau sengaja bisa menyempatkan waktu datang untuk menemuinya, bisa di hari biasa, hari libur, hari raya, atau di hari ulang tahunnya hanya sekadar untuk mengucapkan selamat.

Di tulisan saya yang sebelumnya, disebutkan manusia dalam proses pencariannya menghadapi beberapa tahapan. Perlu proses dalam menempuh satu tujuan, tidak ada yang instan, kecuali mie instan, itupun perlu direbus, dibumbui kemudian dimakan.

Ada cerita unik dari seorang teman tentang temannya yang sempat menemukan pasangannya namun kini tidak lagi berpasangan. Pasangan yang awalnya Ia pikir memang sudah jadi pasangannya yang mutlak, sekarang tidak lagi. Pasangan yang sempat beberapa tahun lamanya berpasangan ini akhirnya tidak lagi berpasangan. Ya, inilah hidup, ada pasang, ada surut.

Ketika pasang, kita dituntut mempertahankan, menjaga, dan merawat. Dan ketika surut, kita mesti sabar, ikhlas, mencari, dan menemukan kembali. Dalam pasang-surut tentu adakalanya kita terjerembab dalam beberapa kesalahan. Itulah sebabnya pasangan yang tadinya bersama, kini tidak.

Ada pepatah mengatakan, “Orang yang berakal tidak akan jatuh pada lobang yang sama.” Itu berarti, jika kita telah melakukan satu kesalahan, kita tidak boleh melakukan kesalahan itu pada waktu, tempat, dan kondisi yang sama. Akal kita akan menuntun kepada jalan benar supaya tidak lagi ‘jatuh di lobang yang sama’.

Memperbaiki satu kesalahan memang tidak mudah, apalagi jika telah berhubungan dengan kepercayaan seseorang. Kita bisa dianggap salah karena meninggalkan hal lama dan beralih kepada satu hal baru dan dipandang oleh sebagian orang merupakan kesalahan.

Orang yang berpendirian teguh dan kuat, tidak akan terlena dengan kesalahan yang sama. Orang yang kuat dan tidak mudah putus asa, Ia akan menjalankan sesuatu hal kebenaran dengan tidak mudah terpengaruh oleh pandangan orang lain. Sabda Muhammad, “Allah lebih mencintai Mukmin yang kuat.”

Ia akan mengubur masa lalu di mana Ia pernah berbuat salah, dan melangkah ke depan dengan segudang harapan demi mencapai satu titik kebenaran. Sebab, jika dia tidak bisa menatap masa depan ke arah yang lebih baik, Ia telah mati. Jiwanya mati, harapannya mati, masa depan, dan cita-citanya mati.

“Jika kau menatap lebih lama lagi ke dalam jurang, maka Ia juga sedang menatap ke arahmu,” Friedrich Nietzsche.

Once time, ketika menonton film yang berjudul The Shawshank Redemption, saya teringat dengan satu dialog yang sampai sekarang masih terngiang-ngiang. Stephen King sebagai penulis dari novelnya yang difilmkan itu menyebutkan, ‎”Ada tempat di dunia ini yang tidak terbuat dari batu. Sesuatu dalam diri kita yang tidak bisa mereka dapatkan, tidak bisa mereka sentuh, dan sepenuhnya milikmu. Sesuatu itu adalah harapan.”

Aiwa! (Arab) Luar biasa sekali kiranya jika telah bisa memperbaiki kesalahan dan tidak mengulanginya. Istimewa sekali rasanya bila kita sudah menjalankan sesuatu kebenaran dengan kontinu, istoqamah, dan sabar.

Bagaimana caranya? Salah satunya bahwa kita harus siap dengan segala konsekuensi dan risiko apa yang kita perbuat. Segala sesuatu pasti akan ada dampaknya, dan kita mesti mengatur strategi supaya dampak yang dihasilkan itu bisa positif, tidak negatif.

“Setiap aksi selalu muncul reaksi yang setara,” ujar Maha Guru, Newton.

Jadi, jangan kaget kalau suatu saat ketika kita sangat ingin berubah menjadi lebih baik, akan ada tantangan yang sama hebatnya agar kita tidak berubah. Itu hukum alam. Tendangan bola dengan kekuatan lemah ke dinding, pantulannya juga akan lemah. Tendangan dengan kuat, pantulannya pun akan sangat kuat. Itu hukum alam sederhana. Begitu juga dengan hidup kita.

AGUNG GUNAWAN SUTRISNA
Mantan Sekretaris Umum LPM Jumpa Unpas 2011-2012

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *