
Kampusiana, Jumpaonline – Terhitung enam bulan lamanya sejak tulisan Sejauh Mana Universitas Pasundan Mendukung Mahasiswa Penyandang Disabilitas? diunggah pada laman jumpaonline, sebagai bentuk perhatian LPM Jumpa terhadap aksesibilitas dan fasilitas bagi penyandang disabilitas yang berada di lingkungan kampus. Saat ini, setelah melewati berbagai proses yang cukup panjang, kami memutuskan untuk meninjau kembali hasil terbitan tersebut. Khususnya perihal rencana-rencana perbaikan serta pembaharuan aksesibilitas dan fasilitas yang sempat dicanangkan oleh beberapa pihak.
Pada saat kami memutuskan untuk melakukan peninjauan lebih lanjut, terlebih dahulu kami membuat survey berupa kuesioner yang ditujukan kepada civitas akademik untuk memperkuat data yang akan kami bawa pada saat proses peninjauan. Survey tersebut mulai kami sebar luaskan pada tanggal 14 Februari 2025, hingga tidak berselang lama kemudian pada tanggal 21 Februari 2025, kami mendapatkan data yang cukup untuk dijadikan pegangan.
Data kuesioner mengungkapkan bahwa, banyak mahasiswa yang tidak merasakan adanya perbaikan signifikan dalam hal aksesibilitas setelah tulisan sebelumnya diterbitkan. Hal ini menunjukkan bahwa pihak kampus belum mengambil langkah konkret untuk meningkatkan fasilitas yang diperlukan. Sebagian besar responden merasa bahwa aksesibilitas yang ada masih jauh dari kata memadai, baik itu dalam bentuk jalur untuk kursi roda, lift, maupun fasilitas toilet yang ramah disabilitas.
Namun, hasil data responden tersebut tidak kami telan mentah-mentah begitu saja. Banyak hal yang secara langsung perlu ditinjau lebih lanjut kepada berbagai pihak yang bersangkutan, seperti jajaran birokrat kampus dan beberapa mahasiswa, untuk memastikan apakah data yang kami terima benar-benar valid atau tidak.
Inklusivitas Kampus, Impian atau Kenyataan?
Lingkungan kampus seharusnya menjadi ruang inklusif yang mendukung seluruh aktivitas mahasiswa, tanpa terkecuali. Namun, realita yang terjadi justru sebaliknya, berbagai kendala dari aksesibilitas fisik hingga minimnya kesadaran kolektif masih dirasakan oleh mahasiswa penyandang disabilitas yang kami temui, bahkan segelintir mahasiswa lain pun merasakan hal yang sama.
Risma, salah satu mahasiswa penyandang disabilitas yang juga sempat menjadi salah satu narasumber kami pada tulisan sebelumnya, ia dengan senang hati bersedia untuk diwawancarai kembali mengenai hal yang sama. Ketika berbincang, ia masih menyampaikan keluhan yang serupa terkait fasilitas kampus yang masih belum bisa dikatakan memadai, sama seperti saat pertama kali kami mewawancarainya.
Ia menyoroti minimnya jalur yang memadai dan lift yang tersedia, serta masih merasa kesulitan ketika berpindah antar kelas di gedung berbeda tanpa jeda waktu yang cukup. “Kalau pindah-pindah kelas tanpa jeda itu susah banget sih buat aku, karena harus buru-buru padahal aksesnya [fasilitas] terbatas,” ungkapnya.
Tidak hanya menyoroti persoalan aksesibilitas fisik bagi penyandang disabilitas, tapi lebih lanjut kami pun menyoroti perihal layanan bimbingan konseling yang tersedia di kampus. Risma pun menyampaikan bahwa ia belum merasakan adanya layanan tersebut. “Kurang tau [layanan konseling] sih teh,” jawabnya ketika kami tanya tentang keberadaan layanan tersebut. Selain itu, ia menambahkan bahwa bimbingan konseling hanya dilakukan melalui dosen wali. “Paling dari wali dosen gitu, kadang suka nawarin kalau misalkan ada apa-apa kaya cerita aja,” tambahnya.
Tidak puas dengan pandangan dari satu mahasiswa saja, akhirnya kami memutuskan untuk mencari pandangan dari mahasiswa lain perihal isu ini. Rizki Satria, Wakil Gubernur Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HI) menyoroti upaya yang telah dilakukan oleh organisasi mahasiswa dalam menyuarakan kebutuhan ini. Ia menjelaskan bahwa beberapa kali rapat telah diadakan bersama birokrat kampus untuk menuntut realisasi fasilitas yang lebih inklusif.
“Mahasiswa penyandang disabilitas juga butuh menempuh pendidikan, dan dengan kurangnya fasilitas bagi penyandang disabilitas, sangat penting bagi kita mengusahakan agar fasilitas-fasilitas tersebut bisa direalisasikan oleh pimpinan kampus,” jelasnya.
Dalam pembahasan lebih lanjut, ia menyinggung pentingnya layanan konseling khusus yang hingga saat ini belum tersedia di Program Studi HI maupun di tingkat fakultas. “Kalau di prodi HI setahu saya belum ada, cuma mungkin itu tidak menutup kemungkinan juga untuk adanya di setiap prodinya untuk konseling,” ujarnya. Hal ini mengindikasikan bahwa selain fasilitas fisik, dukungan emosional dan mental melalui layanan konseling juga menjadi kebutuhan mendesak yang belum terpenuhi.
Antara Rencana dan Realisasi Aksesibilitas
Setelah meninjau keadaan yang dialami mahasiswa, lalu menyesuaikan kembali dengan data kuesioner yang diperoleh, kami memutuskan untuk bertemu dengan pihak birokrat kampus. Saat itu, pada Jumat siang, 07 Maret 2025, sekitar pukul 14.00 WIB, kami mendatangi Gedung Rektorat Universitas Pasundan untuk bertemu dengan Yudi Garnida, Wakil Rektor Bidang Keuangan, Sumber Daya Manusia, Sarana Prasarana dan Sistem Informasi Universitas Pasundan.
Di ruangannya, ketika kami berbincang perihal fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, ia tampak cukup terbuka dalam menjelaskan kondisi terkini.“Harus diakui memang untuk di beberapa lokasi kampus masih kurang [fasilitas dan aksesibilitas] seperti di Lengkong terutama, kemudian Taman Sari dan Setiabudi yang masih belum merata,” jelasnya.
Ketika ditanya mengenai perubahan atau pembaharuan fasilitas yang telah direncanakan sebelumnya, ia dengan jujur menyatakan bahwa belum ada perkembangan. Salah satu alasan utamanya adalah desain awal gedung kampus yang tidak mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. “Jujur saya juga dan bagian rumah tangga merasa kebingungan harus seperti apa, karena dulu pada saat membangun kampusnya ini memang tidak dilengkapi atau tidak mengakomodir fasilitas yang memadai untuk penyandang disabilitas,” ujarnya dengan menekankan bahwa masalah aksesibilitas sudah menjadi persoalan yang mengakar sejak awal pembangunan kampus.
Meski begitu, hingga kini belum ada rencana konkret yang dirancang secara menyeluruh untuk mengatasi masalah ini. “Selama ini memang kita gak berpikir kesana ya, dan memang harus diakui seperti itu,” ungkapnya sambil menunjukkan kebingungan tentang langkah apa yang seharusnya diambil.
Birokrasi Membisu, Inklusivitas Terkikis
Beberapa waktu ke belakang, tepatnya pada hari Senin, 24 Februari 2025, sekitar pukul 11.00 WIB, kami juga bertemu dengan Cartono, Wakil Rektor Bidang Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Alumni, Agama, Budaya Universitas Pasundan. Di ruangannya kami membahas perihal layanan bagi mahasiswa penyandang disabilitas, dengan penuh harap kami bisa mendapatkan pandangan lebih dalam terkait kesiapan akademik kampus dalam menangani kebutuhan mahasiswa disabilitas.
Sebelum berbincang lebih mendalam terkait poin utama yang kami tujukan, terlebih dahulu kami bertanya tentang perkembangan fasilitas sejak pertama kali isu ini diangkat. Ia tampak ragu dan justru mengajukan pertanyaan mendasar mengenai jenis disabilitas yang ada di kampus. “Apa aja sih di kita jenis disabilitasnya?” tanyanya kepada kami.
Dari pertanyaan tersebut kami mengindikasikan bahwa data mengenai mahasiswa penyandang disabilitas belum terkelola dengan baik, bahkan di tingkat pimpinan universitas. “Gak ada [data mahasiswa penyandang disabilitas], kelihatannya memang harus ada edaran dari rektor Unpas untuk mendata mahasiswa-mahasiswa yang berkategori disabilitas,” ujarnya ketika kami singgung perihal data mahasiswa penyandang disabilitas.
Setelah itu, perbincangan beralih ke layanan konseling dan dukungan non-fisik bagi mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Ia memberikan informasi tentang lembaga baru bernama Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT), ia juga menjelaskan bahwa lembaga ini ada karena selama ini mahasiswa hanya mengandalkan dosen wali untuk melakukan bimbingan dan konseling.
Namun demikian, ia mengakui bahwa lembaga ini masih sangat baru dan belum banyak diketahui oleh mahasiswa. Sosialisasi pun belum dilakukan secara menyeluruh. Selain itu, ia menegaskan pentingnya regulasi dalam menyiapkan fasilitas dan layanan yang lebih inklusif bagi mahasiswa penyandang disabilitas. “Kelihatannya ini [layanan inklusif] harus masuk pada regulasi sehingga semua pihak bisa mengikat gitu,” tambahnya.
Dirasa informasi yang bisa ia berikan soal lembaga baru ini kurang menyeluruh, ia menyarankan kami untuk mewawancarai pihak PPKPT agar mendapat informasi lebih lanjut tentang seperti apa lembaga ini. Selebihnya, ia hanya bisa berharap jika PPKPT ini bisa menjadi langkah tepat untuk membantu seluruh mahasiswa yang ada, termasuk mahasiswa penyandang disabilitas.
Secercah Harapan Menuju Kampus yang Inklusif
Untuk mendapatkan informasi lebih mendalam mengenai lembaga baru yang sempat disebutkan oleh Cartono, kami memutuskan untuk mendatangi sekretariat PPKPT. Saat itu, kami bertemu dengan Leni Widi Mulyani, Sekretaris PPKPT, di ruang sekretariat lantai satu Universitas Pasundan. Di sana kami berharap dapat menggali lebih jauh tentang fungsi dan program yang ditawarkan oleh lembaga ini.
Menyambung pembahasan sebelumnya dengan Cartono perihal keberadaan lembaga ini, Leni membenarkan bahwa lembaga ini memang baru terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Rektor pada bulan Februari lalu. Ia menuturkan bahwa PPKPT merupakan hasil penggabungan dua divisi sebelumnya, yaitu divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) dan Bimbingan Konseling (BK). “PPKPT disini tidak hanya bicara mengenai kekerasan seksual saja, tetapi hal-hal yang merendahkan derajat manusia juga, termasuk layanan bagi mahasiswa penyandang disabilitas yang mengalami kendala,” tuturnya.
Namun, Leni menekankan bahwa fokus utama PPKPT saat ini adalah menyediakan bimbingan konseling yang komprehensif, tidak hanya dari sisi akademik tetapi juga psikologis. Ia menjelaskan bahwa divisi BK yang ada di bawah naungan PPKPT bertugas memberikan pendampingan akademik kepada mahasiswa. Namun, karena PPKPT berada di tingkat rektorat, maka mereka bekerja sama dengan unit BK yang ada di setiap fakultas.
“Nah, di divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Perguruan Tinggi kalau untuk bimbingan konselingnya itu ada pendampingan akademik. Tapi kita kan rektorat ya, berarti kita bekerjasama dengan setiap BK yang ada di fakultas untuk mengakomodir kendala-kendala yang dialami mahasiswa,” jelasnya. Hal ini menunjukkan bahwa PPKPT berperan sebagai koordinator dan fasilitator untuk memastikan layanan bimbingan konseling dapat diakses oleh seluruh mahasiswa di Universitas Pasundan.
Setelah menelusuri berbagai sudut pandang, mulai dari mahasiswa hingga jajaran birokrat kampus, satu hal yang pasti adalah Universitas Pasundan masih memiliki tugas besar dalam mewujudkan lingkungan inklusif bagi seluruh mahasiswanya. Berbagai kendala dan tantangan masih dirasakan oleh mahasiswa penyandang disabilitas, mulai dari aksesibilitas fisik yang minim hingga kurangnya dukungan psikologis yang memadai.
Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pihak, masih terlihat adanya kesenjangan antara harapan dan realita. Pihak kampus memiliki rencana dan upaya untuk meningkatkan fasilitas dan layanan bagi mahasiswa disabilitas, namun implementasinya masih jauh dari harapan.
Untuk itu, kami berharap hasil peninjauan ini dapat menjadi momentum bagi Universitas Pasundan untuk lebih serius dalam menangani isu aksesibilitas dan fasilitas bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Sudah saatnya Universitas Pasundan tidak hanya berbicara tentang inklusivitas, tetapi juga bertindak nyata untuk mewujudkannya.
ADE NURUL AULIA
Reporter Data: AFWIN MUHAMMAD NUR
Editor: ADINDA MALIKA TRYCAHYANI