Sumber: Mojokstore.com

Judul: Hikayat Kebo: Sehimpun Laporan tentang Orang-Orang Pinggiran 

Penulis: Linda Christanty

Editor: Tia Setiadi

Tahun terbit: 2019

Tebal buku: 212 Halaman

Kategori: Jurnalisme

 

Jurnalisme sastra merupakan sebuah wadah yang berisi penceritaan soal peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat. Tak seperti tulisan jurnalisme pada umumnya, jurnalisme sastra memuat suatu pemberitaan yang dikemas secara berbeda. Jika biasanya sebuah berita dapat digolongkan ke dalam soft news ataupun hard news, jurnalisme sastra hadir sebagai tempat agar suatu isu dapat dituangkan dengan lebih sastrawi berdasarkan fakta dan peristiwa.

Pada tahun 2019, terbitlah sebuah kumpulan cerita pendek yang ditulis dengan konsep tersebut. Hikayat Kebo: Sehimpun Laporan Tentang Orang-Orang Pinggiran adalah sebuah karya dari Linda Christanty yang menyoroti kehidupan masyarakat pinggiran. Linda berhasil mengemas fenomena yang terjadi dalam kehidupan seseorang dengan cara bertuturnya sendiri. Buku ini memuat 17 karya dengan berbagai dinamika perkara yang terjadi pada masyarakat. Secara halus, buku ini membantu menyadarkan para pembaca terkait permasalahan sosial yang seringkali terjadi di dalam kehidupan.

Ketika Amarah Merasuki Manusia

Kehidupan orang-orang pinggiran tentu tidak semudah yang dipikirkan. Dalam salah satu kisah yang berjudul Hikayat Kebo, Linda menyelami latar belakang seorang pria yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara mengumpulkan dan menjual sampah plastik atau kaleng. Pria tersebut bernama Ratno bin Karja alias Kebo. Kebo tinggal di sebuah pemukiman kumuh yang diisi oleh para pemulung yang bernasib sama. 

Kebo dikenal sebagai orang yang suka sekali dengan minuman keras. Ketika sedang berada dalam pengaruh alkohol, ia menjadi pribadi yang tidak segan menyakiti orang lain. Bahkan kepada istrinya, Muah, Kebo tidak ragu bermain tangan bila Muah melakukan kesalahan. 

Kebo adalah suami yang mudah cemburu. Namun, di sisi lain ia malah memiliki keinginan untuk menikah lagi. Muah mengutarakan isi hatinya, bahwa mereka harus bercerai terlebih dahulu baru bisa menikahi wanita lain. Sesaat setelah mendengar hal itu, Kebo langsung naik pitam dan menjadikan Muah samsak tinjunya.

Kebo juga seringkali mengancam warga di sekitar pemukiman jika keinginannya tidak dipenuhi.  Ia memalak hansip kampung, bahkan sampai mengancam seseorang dengan menempelkan golok di lehernya. Kebo tidak memperdulikan orang lain, yang ia pikirkan hanyalah berbagai rencana agar kehendaknya bisa terjadi. Kondisi emosionalnya terbentuk akibat paparan lingkungannya selama ini. Saat kecil, ia berkelana bersama truk pengangkut ayam yang membawanya ke Jakarta. Selama itu pula Kebo tidak didampingi orang dewasa sebagai tumpuan ataupun penuntun dalam menjalani kehidupan.  Bertahan dari satu tempat ke tempat lain membuatnya bertemu dengan sikap dan sifat manusia yang beragam. Secara tidak sadar, alam bawah sadarnya mulai menyerap dan mengimplementasikan dalam kehidupan dan kesehariannya. 

Puncaknya terjadi saat keinginan Kebo tidak dapat dikabulkan oleh dua pelacur yang sedang menemaninya malam itu. Kemudian, Kebo menyiramkan dua liter minyak tanah ke arah tempat tidurnya dan membiarkan api mulai menyambar ke benda-benda sekitar. Api segera menyambar habis bilik tipis yang dimiliki Kebo. Setelah puas, api mulai melahap bilik-bilik tetangga. Kebakaran tidak dapat terelakkan, sebelas bilik telah hangus dilalap si jago merah. Ketika warga sibuk menyelamatkan diri, Kebo juga sudah berhasil ‘melarikan diri’ dalam kondisi mabuk. 

Dua hari kemudian, Kebo tertangkap dan warga mulai melampiaskan amarah akibat dari yang telah dilakukannya tadi malam. Mereka menempatkan Kebo ke dalam sebuah kubangan rasa sakit tiada henti. Terdengar erangan dari tubuhnya yang sudah mulai melemah. Kebo tidak memiliki energi lagi untuk menghadapi orang-orang. Hanya bisa berpasrah diri ketika warga menyeretnya tanpa belas kasih. Atmosfer kemarahan menyelimuti massa, entah karena mereka memiliki dendam terhadap Kebo atau salah satu dari mereka hanya ikut “meramaikan” ketegangan yang sedang terjadi. Celaan demi celaan terlontar dari mulut massa. Kondisi itu seolah dijadikan ajang balas dendam terhadap segala perangai Kebo yang sudah meresahkan pemukiman pemulung. Tak lama menjelang, tubuh lemah itu mulai diselimuti api yang disulut dari kemarahan warga. Kebo dibakar ketika sudah tidak mampu memproteksi diri sendiri. Bertepatan pada bulan Mei tahun 2001, lagi-lagi peristiwa main hakim terjadi.

Kisah ini memotret salah satu dari sekian banyak jajaran peristiwa serupa. Kala itu, Indonesia sedang berada dalam fase pasca-Orde Baru. Di tengah krisis yang terjadi, masyarakat terperangkap bayang-bayang tekanan. Berbagai konflik yang terjadi membuat sebagian masyarakat memiliki keresahan dan kegelisahan dalam relung hatinya. Fase ini menjadi momen yang memantik masyarakat untuk menjemput hak masing-masing. Mereka terus menggeliat demi mencari kebebasan demokrasi yang sebenarnya. Melalui tangannya sendiri, dengan atau tanpa campur tangan dari pihak luar. Sayangnya, hal terburuk dapat terjadi ketika amarah merasuki manusia, yaitu menghilangkan sebuah nyawa yang seharusnya diadili sebelum ia berpulang. 

Sastra Sebagai Penyeru Keadilan

Siapa bilang sastra tidak bisa menjadi senjata dalam menuntut hak-hak manusia kepada pemerintah? Dalam kisah selanjutnya yang berjudul Wiji Thukul dan Orang Hilang, Linda mengemas kehidupan seorang aktivis sekaligus penyair yang gencar mengkritisi kekejaman yang terjadi pada masa Orde Baru. Wiji Thukul, merupakan seorang warga biasa yang berjuang menegakkan keadilan. Selain getol berkarya, Thukul juga mendirikan Sanggar Suka Banjir sebagai ruang bagi warga sekitar untuk mulai melek terhadap kegiatan bersastra. Anak-anak belajar menggambar, mengarang, membaca, dan bermain teater. Tak luput juga para buruh yang ikut berlatih seni teater di sanggar tersebut. Melalui seni teater inilah mereka belajar bernegosiasi untuk mengutarakan keresahan yang dialami. Thukul telah memperkenalkan sebuah jalan baru kepada masyarakat agar mereka bisa mengekspresikan apapun yang terjadi dalam kehidupan. Dengan senang hati, Thukul  menyisihkan waktunya untuk mengajari orang-orang yang tergabung di sanggar. Harapannya begitu besar, setidaknya agar masyarakat semakin menyadari bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja. 

Thukul bersuara melalui karya-karyanya, meskipun beberapa seniman di masa itu tidak menyetujui peleburan antara seni dengan politik. Mungkin saja beberapa orang  menganggap bahwa sebuah seni haruslah menunjukkan keindahan nan estetis. Sayangnya, hal tersebut tidak berlaku bagi sang penyair. Thukul begitu berani menggambarkan keadaan masyarakat yang hidup dalam kesulitan dan serba kekurangan. Itulah yang membuat karyanya memiliki  keindahan yang tidak biasa. Tulisannya tidak menggunakan kiasan yang rumit, namun isinya tetap berusaha menjelaskan dinamika masyarakat secara akurat. Dengan ciri khasnya itulah Thukul menyampaikan beribu pesan kepada dunia.

Di antara sajak pertentangan yang masif menggema, Thukul justru mengalami penolakan dari pemerintah. Kehadirannya dianggap sebagai marabahaya bagi para penguasa. Kala itu, pemerintah semakin waspada ketika Thukul mulai turun tangan dan terjun sebagai aktivis. Ketika sedang memimpin sebuah aksi, Thukul seringkali ditangkap dan dipukuli oleh para militer. Meski sudah merambah ke jalanan, Thukul tidak melepaskan identitasnya sebagai seorang penyair. Ia kerap membacakan sajak sebagai salah satu bentuk protesnya. Sajak yang paling sering dibawakan adalah Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok.  

Waktu terus berjalan, Thukul tak pernah berhenti barang sejenak untuk beristirahat. Peluh terus mengucur deras ketika ia masih sibuk membela kebenaran. Terhitung sejak 1994 sampai 1998, Indonesia sedang berada dalam keadaan terguncang. Media massa yang dibredel, demonstran semakin gencar turun ke jalan, dan tak luput aksi mogok kerja para buruh. Dalam jangka waktu inilah Thukul terus menghidupkan berbagai aksi yang terjadi. Seiring dengan semangat yang tak pernah padam, di sisi lain, pemerintah malah semakin berambisi menyakiti Wiji Thukul.  Pada tahun 1997, Thukul menyelamatkan diri dan bersembunyi dari kejaran aparat. Meskipun sudah tidak bisa lagi turun ke jalan, kali ini ia tetap bersuara melalui karya.  

Satu tahun setelahnya, pada 1998, puncak kemarahan masyarakat sudah mencapai level tertinggi. Selang kericuhan yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat, perlahan kabar Wiji Thukul juga ikut hilang seiring hilangnya beberapa aktivis lain. Sejak detik itu, tak pernah terdengar lagi karya-karyanya sebagai suara penyeru keadilan. Pencarian yang dilakukan pun tidak membuahkan hasil. Tim Mawar, sebagai unit Kopassus yang bertanggung jawab mengenai penculikan ini berkilah bahwa mereka sudah melepaskan semua aktivis yang ditangkap. Seolah-olah, Wiji Thukul dan yang lainnya ikut “terkubur” dalam kehancuran rezim Soeharto. 

Sebuah Kacamata yang Membingkai Sejarah

Pada salah satu paragraf di bagian pengantar, Linda mengatakan bahwa perubahan adalah sebuah praktik yang juga menjadi sebuah seni. Buku ini telah menggambarkan kedua poin yang dimaksud, yaitu berupa bukti kepedulian Linda terhadap Ibu Pertiwi. Hingga akhirnya, Hikayat Kebo: Sehimpun Laporan Tentang Orang-Orang Pinggiran diciptakan dengan penuh penghayatan. Tidak hanya membukakan gerbang waktu menuju ke masa Orde Baru, namun kacamata Linda juga membingkai sejarah dengan beberapa kasus dan kisah lainnya. Setiap fakta yang telah digoreskan patut dijadikan sebagai pengingat, bahwa Indonesia pernah mengalami peristiwa yang detailnya tidak dicantumkan pada buku pelajaran.  

 

NIPA RIANTI NUR RIZKI DEWI

Pengurus LPM ‘Jumpa’ Unpas

Editor: SEPTINA DWIYANTI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *