Ilustrasi: Khairun Nisya

Ditemui di kantornya oleh kru-Jumpa, Malini, Imal, Tatu dan Roni di YLBHI Jakarta, Munir, setuju jika dibuat UU soal pembatasan fungsi-fungsi pertanggungjawaban dan orientasi kerja intelijen. Lebih lanjut, mantan ketua Kontras ini menjelaskan bagaimana proses hukum untuk pengadilan HAM yang hingga kini belum jelas muaranya. Berikut lengkapnya:

Pada masa transisi kini, bagaimana Anda melihat intelijen dalam struktur lama dan struktur baru?

Struktur intelijen di masa Orba berorientasi pada kerja-kerja resistantance kepada semua bentuk perlawanan terhadap pusat kekuasaan. Dalam proses politik transisi dibutuhkan perubahan watak Intelijen, bukan intelijen untuk mengawasi pikiran politik orang, daya kritis masyarakat. Di negara manapun Intelijen itu ada, misalnya Intelijen yang menopang kerja kemungkinan terjadinya perkembangan terorisme dalam sistem suatu masyarakat, Intelijen tempur itu nggak boleh ikut-ikut menangkap orang, kaya nyulik-nyulik mahasiswa, secara kelembagaan harus diperbaiki dan dikontrol serta orientasi Intelijen di Indonesia harus diperbaiki.

Jika dilihat dari segi hukum dan kesalahan intelijen pada masa rezim Soeharto bagaimana prosesnya sehingga itu disebut pelanggaran HAM berat?

Nah, pelanggaran itu tidak dilihat dari spesifik awal Intelijen musti pelanggaran HAM, tapi memang operası Intelijen yang bekerja di bawah topangan satu struktur rezimentası otoritarian itu tindakan-tindakan dia selalu punya kecenderungan menentang HAM, sehingga otomatis rezim otoritarian itu kan kerjanya menyimpangi dan mengingkari keberadaan hak-hak masyarakat, hak orang bebas dari ketakutan, penyiksaan, penghilangan orang.

Sejauh mana proses pengadilan HAM terhadap pelaku?

Di Indonesia ini, belum pernah ada proses hukum yang berhasil menuntut pertanggungjawaban terhadap satuan Intelijen dalam kejahatan di manapun.

Alasannya kenapa?

Ya itu, impunity (kekebalan hukum), yang nggak Intelijen saja tidak ada yang dihukum, seharusnya yang dihukum di Indonesia penjahat kemanusian Indonesia. Nah itu soal impunity jauh lebih luas dari sekedar Intelijen. Intelijen itu kan bagian dari struktur militer di Indonesia dan struktur militer ini sekarang menikmati impunitas (kekebalan hukum), perubahan-perubahan hukum nasional sebenarnya masih belum menyentuh soal-soal mendasar di bidang upaya membatasi adanya kekebalan hukum.

Berarti sejak dulu tidak ada kontrolnya?

Enggak ada kontrolnya. Sepanjang impunity itu terus berlangsung untuk militer, maka sepanjang itu pula Intelijen akan menjadi soal, Intelijen tanpa kontrol itu ditulis oleh novelis Inggris yaitu Republic of Fear (republik orang-orang ketakutan), rakyatnya hidup dalam ketakutan, sampai dia gambarkan suami takut sama istrinya karena istrinya dianggap intel dan sebaliknya. Ini semacam sındıran politik terhadap negara-negara otoritarian yang menopang diri pada Intelijen. Di Indonesia, di luar struktur formal Intelijen itu banyak yang digunakan untuk fungsi Intelijen, contohnya pos kamling, 1×24 jam harus lapor itu kan alat politik negara pada waktu itu. Model-model pengawasan Intelijen, jadi Intelijen itu jangan dilihat formal yang tadi, jadi bisa merupakan sebuah kerangka sistem yang tidak tersentuh oleh proses-proses hukum dan ini uncontrol.

Jadi, sebaiknya bagaimana?

Ya, sebaiknya memang harus ada pengaturan yang jelas, Intelijen-intelijen formal kenegaraan itu pertama harus diatur secara tegas, batasan kewenangan, orientasi kerja, kontrol dsb. Yang kedua penggunaan masyarakat dalam operasi Intelijen harus dibinasakan sama sekali. Nah kalau kita mau menyelesaikan problem pengawasan politik di masyarakat, maka struktur ini juga harus dibongkar, dipertanyakan kembali. Struktur lama dari ‘regimentasi’ yang otoritarian dari zaman Jepang sampai struktur intelijen resmi negara, karena kan RT/RW ini akhirnya kan melapor ke kodim, itu yang disebut republic of fear, semua masyarakat takut terhadap lingkungannya sendiri.

Jika intelijen ini kebal hukum, lalu bagaimana dengan kelanjutan proses-proses hukum yang sedang berlangsung?

Sebetulnya di sini soalnya, perubahan hukum nasional, sekarang sudah ada UU hukum pengadilan HAM, itu kan agar pelanggaran secara sistematik yang dilakukan oleh negara, Intelijen, bisa dipertanggung jawabkan, akan tetapi realitanya circle impunite ini masih menjadi soal pelik sampai hari ini, UU itu banyak kelemahan. Jadı impunite itu tetap jadi soal, pertama UU ini memberikan mandat seluruh pengungkapan kasus-kasus kepada Komnas HAM, yang menjadi soal adalah impunity di kalangan militer khususnya Intelijen itu karena tidak efektifnya kelembagaan Komnas terhadap semua kejahatan. Kedua impunite itu justru ada di DPR, karena pengusutan kasus masa lalu itu bisa apabila DPR setuju. Jadi sekarang siapapun yang tidak mau bertanggung jawab berlindunglah di DPR, karena hanya DPR yang bisa mengusulkan kasus mana yang mau diusut. Jadi DPR menurut saya menjadi sarang penyamun impunite. Jadi ruangannya menjadi sangat politik ketimbang ruangan yang sifatnya berdasarkan hukum karena semua hak itu diambil DPR.

Berarti ada kemungkinan pada masa-masa mendatang pihak-pihak Intelijen dapat kembali melakukan pelanggaran HAM?

Saya kira iya, itu ancaman yang sangat serius sepanjang belum ada kontrol yang efektif terhadap intelijen, itu kan bagian dari TNI. Yang kedua, sepanjang belum adanya upaya serius dan signifikan untuk memperbaiki struktur impunite di dalam sistem hukum nasional. Ketiga, sepanjang masyarakat tidak kritis, artinya membiarkan circle impunity dalam ketidak pahaman mereka. Masyarakat juga kadang-kadang secara sukarela menjadi alat Intelijen tadi, ngawasin tetangga atas nama RT. Satu hal yang penting yaitu kenapa kasus teror dan kerusuhan di berbagai wilayah itu tidak mampu diselesaikan, itu karena Intelijen tidak terkontrol. Kasus Nicaragua, Argentina, Chili, Panama, yang menjadi soal yaitu Intelijen di sana jauh lebih kuat dari sistem negara itu, Intelijen itu kalau terlalu kuat dia sudah menjadi negara sendiri.

Ada kepentingan atau peran pihak asing?

Saya kira kepentingan pasti ada. Berbagai persoalan kekacauan di negeri ini karena orang Indonesia sendiri yang goblok tidak mampu mengatasi keadaan, merusak sana-sini. Indonesia ini negeri salah urus, sehingga saya tidak terlalu memandang serius bahwa berbagai persoalan nasional yang sekarang dihadapi, termasuk pertikaian-pertikaian etnis karena soal Intelijen asing, saya nggak percaya itu, karena riil di lapangan dan fakta yang ditemukan memang karena salah urus pembangunan, soal kompetisi politik di Jakarta, soal resistensi militer di Indonesia, terhadap soal-soal perubahan politik menuju demokrasi.

Banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Intelijen selalu berkaitan dengan kondisi atau kebijakan politik?

Intel itu kan cuma alat, contohnya Priok (tragedi Tanjung Priok 1984-red) itu kan berawal dari keputusan Soeharto untuk asas tunggal. Nah di situ Soeharto sudah siap, siapa yang melawan harus dihadapi dengan cara apapun termasuk dihabisi, pernyataan presiden di Samarinda tahun 1981 dia berkata, kalaupun ada anggota DPR yang tidak setuju menurut hasil voting dengan asas tunggal kalau perlu harus dihilangkan, anggota DPR saja diancam seperti itu, nah dalam masyarakat perlawanan terus dijalankan Intelijen bermain di situ, ‘meradikalisasi’, mengompori supaya cepat meledak sehingga mereka punya alasan untuk memukul keras, tentara zaman itu menyebut Priok itu biarkan jadi asbak, itu operasi Intelijen, ada yang menyusupkan orang, juga para aktivis yang diperiksa oleh BIA, Intelijen pake nangkep orang, sebenarnya semua gejala gerakan di Indonesia berhadapan dengan Intelijen.

Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini?

Ya dua-duanya, satu pembuat kebijakan, dua adalah orang yang melakukan tindakan, manusia kan diberi otonomi berpikir, wah ini perintah yang nggak bener kalau dia yang melakukan dia harus bertanggung jawab, meskipun dalam militer tidak ada hak diskresi, hak untuk menolak perintah, kemudian dia pikirkan dulu, dikoreksi itu nggak ada, tapi bagaimanapun sebagai manusia dia punya tanggung jawab yang lain. Jadi dilihat dari tingkat kesalahan, tapi dalam kasus-kasus besar, umumnya sejak perintahnya sudah salah, kayak DOM itu sejak perintahnya sudah salah, yang bertanggung jawab ya pemimpin, karena apa yang dimaksud kejahatan kemanusiaan yang bersifat berat itu hanya bisa dilakukan oleh struktur kekuasaan. Tindakannya itu terencana, sistematik dan luas, terencana itu kebijakan politik, sistematik itu operasinya.

Kalau melihat situasi kini, peran Intelijen sangat lemah sekali…

Lemah dalam arti apa? saya nggak setuju kalau dibilang Intelijen kita lemah, tapi Intelijen tidak dipergunakan secara benar. Mereka dilatih hanya untuk melindungi kepentingan Soeharto, Soeharto rontok mereka ganti melindungi kepentingan pribadi.

Tapi siapa aktor intelektual dibalik kerusuhan dan peledakan bom hingga kini belum terungkap

lya, kalau provokator itu bukan bagian dari Intelijen, belum tentu provokator itu nggak ada hubungannya dengan Intelijen, di antara mereka juga ada provokator, karena mereka berpolitik mereka jadi berbahaya mereka bisa buat rusuh, buat teror. Makanya jika orang mengatakan Intelijen kita lemah itu salah, dia (Intelijen-red) tidak pernah di setting bagaimana masyarakat bebas dari teror.

Tapi faktanya Intelijen belum mengungkap apapun, artinya mereka memang lemah?

O, iya, itu kan opini yang dibangun, itu hegemoni militer, yang perlu dibangun itu fungsinya, itu belum ada yang membuktikan, dia dibangun dan digunakan untuk apa, Intelijen itu kayak pisau, Intelijen itu manusia bisa nawar posisi, nah ini yang susah.***



Dieditori ulang oleh ADINDA MALIKA TRYCAHYANI

*Tulisan ini pernah diterbitkan di Tabloid JUMPA Edisi.19 Tahun 2001

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *