Massa aksi bertajuk “September Hitam: Jawa Barat Lautan Suar” berkumpul di depan Gedung Sate pada hari Jumat, 29 Oktober 2023. Aksi tersebut dihadiri para mahasiswa dari berbagai instansi dari dalam dan luar Bandung.

Dalam press release-nya, mahasiswa menuntut empat tuntutan utama. Pertama, mahasiswa menuntut Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan terhadap seluruh kasus pelanggaran HAM berat. Kedua, menuntut Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Jawa Barat membuat Pakta Integritas terkait pelayan yang humanis, berpihak kepada rakyat, serta mewujudkan penegakan demokrasi dan HAM. Ketiga, Menuntut Penjabat (PJ) Gubernur Jawa Barat untuk berpihak kepada warga Dago Elos dan pedagang Pasar Banjaran atas konflik sengketa lahan. Keempat, menuntut sikap PJ Gubernur Jawa Barat untuk menyuarakan solidaritas terhadap masyarakat yang tergusur di wilayah Rempang.

Salah satu demonstran berdiri di tengah spanduk yang dibentangkan mengeliling, di depan hadapan para polisi sembari memegang payung, dan P3K yang disimpan di depan kakinya. Di depannya, awak media mencari kesempatan untuk mengambil foto dari demonstran tersebut.

Sambil menunggu PJ Gubernur turun untuk mendengarkan tuntutan, mahasiswa mengisi waktunya untuk berorasi dan menampilkan aksi teatrikal syarat makna. Salah satunya diisi oleh mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Penampilan tersebut dibuat menegangkan di tengah terik matahari, di samping lebatnya luapan api dan asap yang menyengat panas.

Putri, dengan kaos putihnya, berdiri dengan pasrah. Rekan-rekannya membaluri Putri dengan cat merah. “Cat itu memaknai kotornya badan setelah dilecehkan, mereka merasa kotor. Cat tersebut menggambarkan kotornya badan perempuan itu,” ujarnya.

Putri bahkan diseret, seperti tersiksa. Ia meringkuk ketakutan sampai ia terbaring, menyerah. Namun, pada akhirnya, ia bangkit kembali. “Sekotor apapun diri, itu tidak menjadi batasan kita untuk bangkit lagi,” ucapnya.

Secara keseluruhan, penampilan teatrikal itu menyampaikan sebuah pesan bahwa banyak perempuan yang lupa hak badan miliknya sendiri. “Jangankan membicarakan emansipasi dan kesetaraan. Banyak perempuan lupa bahwa badannya milik sendiri,” jelasnya.

Teatrikal kedua dari ISBI, diisi oleh keempat rekan Putri. Laki-laki mengitari lingkaran para mahasiswa, sembari menaburi kelopak bunga. Tak hanya itu, di belakangnya, satu orang berlagak ketakutan, berlari ke sana kemari. “Sempat rame kemarin petani yang kepalanya sampai didiinjak, kami menyuarakan hal itu,” ujar Putri.

Tak hanya dari golongan mahasiswa, aksi September hitam itu dihadiri oleh sejumlah pedagang kaki lima. Teguh Firasa, dengan baju biru dan topi hitammnya, ia berkeliling di tengah kerumunan mahasiswa sembari menopang nampan berisi minuman segar di tengah teriknya matahari sore, dan panas yang menyengat dari kobaran api bakaran ban. Ia menjajakan air mineral, es teh, dan juga es jeruk. “Lima ribu saja,” ucapnya saat ada mahasiswa yang membeli.

Bagi para pedagang, khususnya Teguh, hal ini cukup menguntungkan. Di tengah aksi seperti itu, tentu para mahasiswa membutuhkan konsumsi yang cukup untuk beraksi. Di sini peran para pedagang dibutuhkan. “Mending lah, tidak seperti hari biasa. Kalau yang demo mahasiswa, bagi saya cukup ramai. Kalau yang demo bapak-bapak, jarang (membeli-red),” ujarnya.

Teguh mengaku sering berdagang di sekitar Jalan Diponegoro. Bahkan saat aksi, ia selalu siap untuk menjajakan dagangannya. “Sangat sering (berdagang-red). Aksi demo tempatnya di sini (Gedung Sate-red), hampir tiap pekan ada yang namanya demo,” jelas teguh.

Ia menanggapi baik aksi seperti September hitam. Terutama kaitannya dengan kasus ricuh di Rempang. Ia merasa sedih melihat kejadian yang telah terjadi. “Itu (ricuh di Rempang-red) sangat menyedihkan, banyak anak-anak sekolah lagi belajar sampai keluar. Harusnya (pemerintah-red) memandang ke situ”

Hampir tiga jam berlalu, PJ Gubernur belum juga turun menghadap para mahasiswa. Mahasiswa mulai menyulut api dan flare di depan pagar depan Gedung Sate. Hari mulai gelap, beberapa mahasiswa memutuskan untuk istirahat, dan beberapa memutuskan untuk pulang.

Rizki Anugrah Kusumah
Penulis dan Fotografer

Editor: Rizky Rahmalita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *