Pentingkah Praktik Senioritas di Kampus?

Belum lama ini, para senior di berbagai kampus Indonesia tengah disibukkan dengan kedatangan adik-adik mereka dari angkatan 2022. Mereka mungkin sedang berpikir keras tentang bagaimana cara untuk membimbing dan mengader adik-adiknya.

Tentu masih segar di ingatan, kita sempat dihebohkan dengan pemberitaan perpeloncoan Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek) di Universitas Jember yang mana mahasiswa baru menjadi korban perploncoan senior di kampus yang tidak ada esensinya dengan perkuliahan, ketika itu terjadi kekerasan verbal oleh senior pada mahasiswa baru Fakultas Teknik. Mencuatnya kasus ini seolah menyibak tabir kelam pendidikan perguruan tinggi. Kasus itu hanya secuil dari banyaknya kasus tiap tahun ke tahun  mengenai tindakan seenaknya senior kepada junior.

Secara definisi, senioritas adalah keadaan di mana seseorang merasa lebih tinggi dalam pangkat, pengalaman, dan usia. Dalam arti lain yaitu prioritas status atau tingkatan yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja. Budaya senioritas sendiri adalah budaya peninggalan feodalisme. Yang muda menghormati yang tua dan menuruti segala apa yang dikehendakinya, meskipun itu bertolak belakang dengan keinginan. Ungkapan “senior tidak pernah salah” makin dipopulerkan banyak orang. Singkatnya dalam hal ini, senior lebih berkuasa di atas segalanya.

Kita tak menyangkal, ternyata mahasiswa bermental seperti inilah yang menanamkan dogma-dogma terhadap mahasiswa baru yang datang setiap tahunnya melalui kegiatan pengaderan. Kata-kata seperti pengaderan atau ospek tentunya sudah sangat familier bagi kita mahasiswa dimanapun kita berkuliah, karena ini termasuk kebiasaan yang dilakukan untuk mahasiswa baru baik di perguruan tinggi, politeknik, maupun sekolah tinggi.

Sudah sejak lama dunia pendidikan tercoreng oleh ulah para “oknum” senior yang punya daya nalar sempit dan dangkal. Mereka seolah-olah menganggap bahwa junior adalah sebuah objek yang bisa diperlakukan sesuai keinginan egonya yang buruk dan dungu.

Banyak sekali faktor atau alasan yang membuat para “oknum” senior melakukan penyelewengan terhadap juniornya, seperti: merasa punya kuasa, supaya dianggap keren, gengsi tinggi, atau bahkan kurang pendidikan karakter dan pola pikirnya sempit.

Pengalaman masa lalu juga bisa menjadi salah satu alasan yang digunakan untuk membalas dendam. Senioritas bisa dikatakan sudah menjadi budaya atau tradisi yang secara turun temurun mereka lestarikan di suatu institusi pendidikan. Hal konyol ini harus diputus rantainya oleh semua pihak supaya kejadian-kejadian buruk tidak terjadi lagi.

Aku tidak bermaksud menggeneralisir bahwa semua senior bertindak seperti itu. Tetapi kecenderungannya memang demikian, para kakak angkatan banyak yang bermental majikan dan menganggap junior sebagai babu barunya. Sekali lagi aku bilang tak semua senior tidak baik atau punya rasa senioritas.

Yang salah adalah jika senioritas tersebut didasarkan karena kepentingan pribadi, seperti perundungan berkedok senioritas, di mana senior mengader mahasiswa baru dengan alasan ingin menjadi “superior” di depan mereka. Tapi, kalau melihat dari sisi lain, senioritas bisa jadi salah satu syarat dari pengaderan. Misalnya, senioritas digunakan agar mahasiswa baru mengetahui cara bersikap yang baik, semisal dengan adanya senioritas, setiap mahasiswa baru yang lewat di depan kakak tingkatnya akan menunduk yang menunjukkan sapaan atau rasa hormat.

Jikalau merasa terganggu dengan senior seperti itu, jangan sungkan untuk menegur apabila dianggap telah keterlaluan, karena anda memiliki hak untuk merasa aman dan nyaman di lingkungan akademik. Jika perlu, laporkan saja kepada pihak-pihak terkait di kampus agar menimbulkan efek jera tersendiri bagi mereka, karena bisa saja dengan anda memulai sikap tegas dan berani, akan meransang junior lain untuk tidak lagi menghamba pada senior mereka.

Hal yang perlu diingat, hormat kepada seniormu boleh, tetapi jangan sekali-kali kalian menghamba pada ketakutan yang diberikan oleh senior, karena itu berarti kalian hanya menyambung rantai ketakutan yang tercipta sejak lama yang terkadang berkedok sebagai “tradisi”.

RIZAL

MAHASISWA HUBUNGAN INTERNASIONAL