Abdul Manan (kiri bawah), Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, tengah melaporkan catatan tahunan AJI yang di antaranya meliputi serangkaian kekerasan terhadap jurnalis serta ketiadaan peran pemerintah dalam menjaga kebebasan pers Indonesia. Catatan-catatan tersebut disampaikan Manan dalam konferensi pers bertajuk Catatan Akhir Tahun AJI 2020 yang digelar secara virtual pada Senin, 28 Desember 2020.

Nasional, Jumpaonline “Saya kira ini bukan kabar yang bagus bagi wartawan dan pers Indonesia,” ujar Abdul Manan, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada konferensi pers bertajuk Catatan Akhir Tahun AJI 2020 yang digelar lewat Zoom Webinar pada Senin, 28 Desember 2020. Pernyataan tersebut disampaikan Manan dalam menanggapi kasus kekerasan terhadap jurnalis yang naik signifikan pada tahun 2020.

Manan menyebutkan AJI Indonesia Bidang Advokasi mencatat setidaknya ada 84 kasus kekerasan yang dialami jurnalis sepanjang 2020. Peristiwa aksi penolakan Omnibus Law menyumbang kontribusi besar kasus kekerasan. Dalam catatan AJI, pelaku didominasi pihak kepolisian. Dari intimidasi, penghapusan data hasil liputan, hingga kekerasan fisik dialami jurnalis pada aksi yang digelar awal Oktober tersebut.

“Yang lebih krusial adalah bahwa ini menjadi jumlah tertinggi dalam kasus kekerasan yang pernah dimonitor oleh AJI sejak melakukan pendataan kekerasan terhadap wartawan,” tambah Manan.

Selain hal tersebut, AJI Indonesia juga mencatat serangan siber terhadap media massa. Manan menuturkan, setidaknya ada empat media massa yang mengalami serangan digital, yakni Tempo.co dan Tirto.id tertanggal 21 Agustus 2020, serta dua media massa yang memusatkan isunya pada kajian gender, yakni Magdalene serta Konde.co.

“Ketika media menjalankan fungsinya sebagai watchdog, melakukan fungsi kontrol sosial, mereka tidak hanya berpotensi berhadapan dengan hukum, tapi juga menghadapi serangan digital,” kata Manan.

Perihal pemidanaan, Manan memaparkan catatan kasus Diananta Summed, Jurnalis Banjarhits, yang dihukum tiga bulan penjara sebab memberitakan konflik warga Kalimantan Selatan dengan PT Multi Sarana Agro.

“Ini preseden yang buruk karena setidaknya pertama kali dalam lima [sampai] sepuluh tahun ada wartawan dipenjara karena beritanya,” ujar Manan.

Selain kasus kekerasan yang tinggi, Manan menyebutkan hampir tidak ada inisiatif pemerintah yang membuat jurnalis bekerja lebih aman. Terlebih, menurut Manan, beberapa kasus menunjukan bahwa komitmen pemerintah terhadap kebebasan pers amat rendah.

“Bayangan itulah yang menghantui kita di 2021, apa yang terjadi tahun ini berpotensi terulang. Saya kira ini bukan kabar baik yang ingin kita dengar,” kata Manan.

Sementara itu, menyoal kekerasan terhadap jurnalis pers mahasiswa yang tidak menjadi bagian catatan tahunan AJI, Manan menjelaskan, yang menjadi rujukan catatan tersebut adalah siapa-siapa yang disebut sebagai jurnalis. Hal ini menurutnya mengacu pada UU Pers dan ketentuan internal Dewan Pers sebagai orang yang bekerja terus menerus dalam memproduksi karya jurnalistik.

“Jadi makanya kami belum mencatatkan kasus kekerasan yang dialami pers mahasiswa walaupun AJI secara organisasi ikut mengadvokasi. Ini yang menjadi bahan diskusi kami,” pungkas Manan.

 

ANGGA PERMANA SAPUTRA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *