https://akaneesque.wordpress.com/2015/07/15/kiseijuu-sei-no-kakuritsu/

Ini adalah hari perayaan, kawan-kawan. Mari, mari rayakan putus asa, malas kuliah, dan perasaan bingung untuk berbuat apa. Segala sesuatunya pantas untuk dirayakan. Sebelum berakhir. Sebelum luput. Juga waktu, kata Subagio Sastrowardoyo. Sementara, kita menengadahkan kepala sambil berdoa agar yang kesepian diberikan ketabahan, dan jiwa-jiwa pergi dengan bahagia.

Sambil menanti pandemi usai, akan ku ceritakan pada kalian kisah mahadasyat tentang sepasang sahabat di pinggiran kota Tokyo. Mereka adalah apa yang disebut Paulo Coelho dalam novel Brida sebagai soulmate, pasangan jiwa in concreto.

***

Aku akan memulai dengan meminjam senandika sang tokoh utama, “Who decides the relative value of human and non-human lives?”

Begitulah yang digumamkan Shinichi Izumi dalam pidato kematian Gotou pada episode 23 serial anime Kiseijuu. Kalimat itu senantiasa membayangi babak demi babak pembelaan manusia terhadap keberadaannya, yang dalam tempo bersamaan berhadapan dengan negasi atas motif-motif penyentralan manusia di planet ini.

Pada lanskap satiris, Hitoshi Iwaaki menyingkapkan cermin bagi individu seperti Izumi untuk mengritik spesiesnya sendiri. Sementara di sisi lain, plot cerita yang suram akan menyeret kita pada perenungan yang sesal sebagai manusia. Serupa kemurungan yang mengambang di langit kamar ketika mendengarkan Lingua Ignota mengidungkan SORROW! SORROW! SORROW!

Segala sesuatunya dimulai pada malam ketika Izumi terlelap. Kemudian Migi, spesies parasit dari nun jauh yang tak disebutkan, tengah mencari inang untuk bisa bertahan hidup. Awalnya, Migi menjadikan otak Izumi sebagai peraduan sebagaimana yang dilakukan parasit lain: mengambil alih pusat kesadaran manusia. Namun, sialnya ia hanya mampu bersarang di lengan kanan izumi.

Kesadaran Izumi tetap utuh dan ia tak lebihnya seorang anak SMA; dibayangi labilitas, ingin terlihat keren dihadapan perempuan, atau hal lain yang sebagaimana adanya melekat pada remaja laki-laki. Namun, di hari ketika ibunya terbunuh, ia berkata dengan tandas, “Aku akan membalas kematiannya.”

Hal tersebut menyeret Izumi kepada palagan brutal. Di balik motif yang berhamburan antara cinta, rasa takut, darah, dan dendam, ia menjelma sosok, yang secara fisio-maupun-psikologis, adalah manifestasi naluri predatorial dalam tubuhnya.

Begitulah selayang pandang serial anime Kiseijuu: Sei no Kakuritsu (Parasyte). Secara episodik, seperti menonton Parasite-nya Boong Joon-ho, kita akan terlibat dalam pertanyaan siapa in casu yang sebenarnya berperan sebagai organisme penghisap itu? Serupa pertanyaan apakah kita akan meyakini bahwa keluarga Kim adalah benalu di tubuh si kaya? Atau, apakah kita malahan mengamini teori mutualisme Achmad Yurianto yang masyhur itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tetap tinggal sebagai enigma.

Namun yang jelas, Kiseijuu maupun Parasite tampaklah sangat tega, bahkan terhadap sesamanya. Kedua tontonan tersebut menghadirkan kanibalisme dalam arti literal maupun simbolik. Parasit dalam seri cerita Kiseijuu menyajikan manusia sebagai santapan. Sementara keluarga Kim membunuh Moon-kwang, pembantu lama keluarga Park yang sempat mereka singkirkan. Keduanya sama, mempertontonkan perang yang membatin dan kekerasan yang harus; sebagai upaya defensif mempertahankan kehidupan.

 

Melampaui Sinisme

Mari sebentar kesampingkan tentang yang baik, tulis Ikhbar Zifamina, karena tentu para agamawan, orang-orang tua, dan polisi sudah pasti lebih hatam menjawab apa itu kebaikan. Para manusia yang didapuk menjadi penjaga gawang moral masyarakat tersebut akan memiliki varian respon untuk menjunjung kebaikan versi mereka, katanya.

Dan mungkin itulah yang menjadikan Kiseijuu lebih berharga ketimbang drama azab Indosiar. Ia melepaskan atribut tentang baik dan buruk atau benar dan salah semata. Iwaaki, lewat penciptaan karakter Migi, menghadirkan dikotomi moral yang agak satiris dan di sisi lain cukup meyakinkan.

Penokohan Migi yang linier dengan arahan naluriah, parasitik, dan suram tampak kontras dengan Izumi yang merupakan apologi kemanusiaan. Karakter Migi tidak mengenal konstruksi tentang cinta, belas kasih, dan kesedihan, bersebrangan dengan konsepsi yang melekat pada Izumi sebagai seorang manusia. Seolah-olah godam saling bersahutan di antara dialog inang dan parasitnya itu. Yang satu demi mempertahankan status quo manusia sebagai ‘pemuncak piramida kehidupan’, sementara yang lain bersiap mengokupasi puncak klasemen tersebut.

Tapi sungguhpun itu, Kiseijuu bukanlah sebuah kisah sinisme semata, ia melampauinya. Ini tak terlepas dari karakter Reiko Tamura yang matinya tak tepat waktu itu. Profil Reiko yang dihadirkan Iwaaki berhasil mendekonstruksi susunan interior manusia yang begitu papa. Yang di satu sisi menghasrati penjelasan menyeluruh tentang kehidupan, namun di sisi lain ia berhadapan dengan dunia yang menyembunyikan penjelasan demi penjelasan itu.

Reiko adalah mantan guru matematika Shinichi, ia dihadirkan pertama kali sebagai makhluk tak berbelas kasih seperti spesiesnya. Namun, sifat dan konsepsi parastiknya itu berangsur memudar seiring janin manusia yang kian tumbuh dalam sebuah ruang di tubuhnya. Atau dalam kata lain, insting predatorial itu tereduksi oleh naluri keibuan. Sifat-sifat maternal itu di kemudian waktu bahkan membawa Reiko pada penerimaan final akan takdirnya. Setelah detik pertama kematiannya jatuh, sang parasit seolah lahir kembali sebagai manusia yang sani.

Sosok organisme parasitik yang semula tak mengenal konsep emosi itu kini menjadi gambaran paling pengertian atas palagan yang nyalar menyeret manusia untuk terlibat ke dalamnya. Ia menyingkap yang khafi, yang disembunyikan; konflik batin dan bagaimana manusia bergelut di dalamnya.

Bahkan, efek riak dari kematiannya yang ikhlas itu memompa kembali ketersedian emosi Izumi yang meskipun memahami konsep penderitaan, namun tak mampu lagi berduka. Pada akhirnya, ya, yang lampau mencekal ambang sadar. Ketika tangis bayi Reiko pecah, ia disinggahi banyak memoar tentang kematian, dan dari sanalah Izumi menemukan ‘an important part of being human,” katanya.

Benar kata Muhammad Damm; memahami kematian adalah titian menuju keintiman hidup, yang darinya kita belajar atau diajari pemaknaan akan keberadaan menjadi seorang manusia

 

ANGGA PERMANA SAPUTRA

1,308 thoughts on “Kiseijuu: Bagaimana Anime Menyingkap Kedirian Manusia”
  1. Thank you for the sensible critique. Me and my neighbor
    were just preparing to do a little research on this.
    We got a grab a book from our area library but I think I learned more clear from this post.
    I’m very glad to see such wonderful info being shared freely out there.

  2. Woah! I’m really enjoying the template/theme of this blog.
    It’s simple, yet effective. A llot of times it’s challenging to
    get that “perfect balance” between usability and appearance.
    I mustt say you have done a amazing job with
    this. Additionally, the blg loads supedr fast for me
    on Internet explorer. Exceptional Blog!

  3. With havin so much written content do you ever run into any problems of plagorism or copyright violation? My website has a lot of completely unique content I’ve either authored myself or outsourced but it looks like a lot of it is popping it up all over the web without my agreement. Do you know any methods to help protect against content from being ripped off? I’d genuinely appreciate it.

  4. Hi there! I realize this is kind of off-topic but I had to ask. Does running a well-established blog like yours take a lot of work? I’m completely new to blogging but I do write in my diary everyday. I’d like to start a blog so I can share my experience and views online. Please let me know if you have any suggestions or tips for new aspiring bloggers. Appreciate it!

  5. Anime has become a popular form of entertainment that captivates audiences with its unique storytelling and captivating visuals. One such anime that delves into the complex nature of human existence is Kiseijuu. This thought-provoking series explores the concept of identity and what it means to be human in a world filled with extraordinary beings.

    Kiseijuu, also known as Parasyte: The Maxim, takes viewers on a thrilling journey as they witness the protagonist, Shinichi Izumi, grapple with his newfound symbiotic relationship with a mysterious creature called Migi. As Shinichi navigates through this new reality, he is forced to confront his own fears and insecurities while questioning the very essence of humanity.

    The anime skillfully intertwines elements of science fiction and psychological drama to shed light on the fragility of human nature. It raises profound questions about morality, free will, and the boundaries between humans and monsters. Through its compelling narrative and well-developed characters, Kiseijuu challenges viewers to reflect on their own identities and contemplate what it truly means to be human.

    Furthermore, Kiseijuu serves as a powerful commentary on society’s tendency to reject those who are different or perceived as threats. It explores themes of acceptance, empathy, and the consequences of prejudice through its portrayal of both humans and parasytes coexisting in an uneasy balance.

    In conclusion, Kiseijuu stands out as an anime that goes beyond mere entertainment by delving into deep philosophical themes surrounding human nature. Its exploration of identity serves as a reminder for us all to embrace our uniqueness while fostering understanding for those who may appear different from ourselves. Through its thought-provoking storytelling, Kiseijuu invites viewers to embark on an introspective journey that challenges their beliefs about what it truly means to be human.

  6. Anime has become a global phenomenon, captivating audiences with its unique storytelling and diverse range of themes. One such anime that delves deep into the complexities of human nature is Kiseijuu, also known as Parasyte: The Maxim. This gripping series explores the connection between humans and parasites, shedding light on the darkest corners of our own selves.

    Kiseijuu serves as a powerful mirror, reflecting the intricacies of human behavior and the choices we make. Through its thought-provoking narrative and well-developed characters, it forces us to confront our own fears, desires, and vulnerabilities.

    The anime explores various aspects of humanity, including morality, identity, and the essence of being human. It challenges conventional notions by blurring the lines between good and evil, showcasing that even those considered monsters can possess elements of humanity within them.

    Furthermore, Kiseijuu delves into universal themes such as love, loss, friendship, and self-discovery. It portrays how relationships are tested in times of adversity and how individuals grapple with their own inner demons.

    The series also highlights the power of adaptation and growth. As humans face unimaginable challenges in a world invaded by parasites, they must evolve both physically and emotionally to survive. This serves as a metaphor for our own personal journeys – reminding us that change is inevitable if we wish to overcome obstacles in life.

    Kiseijuu’s ability to reveal the depths of human self is a testament to the brilliance of anime as a medium for storytelling. It captivates viewers by presenting complex characters who navigate through morally ambiguous situations while questioning their own humanity.

    In conclusion, Kiseijuu stands as an exemplary example of how anime can delve into profound philosophical questions about what it means to be human. Its exploration of morality, identity crisis,and personal growth resonates with viewers on a deep level – reminding us that within each individual lies an intricate web of emotions waiting to be unraveled.

  7. Having read this I thought it was very informative. I appreciate you taking the time and effort to put this informative article together. I once again find myself spending way too much time both reading and leaving comments. But so what, it was still worth it!