Judul : Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungan Jawab)
Penulis : Mochtar Lubis
Tebal : 112 Halaman
Penerbit : Idayu Press
Terbit : 1977, Cetakan Kedua

Buku ini sebenarnya bukan buah pena Mochtar Lubis, melainkan ceramahnya yang disampaikan pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ketika menyampaikan ceramahnya, Mochtar Lubis memaparkan beberapa ciri/karakter Manusia Indonesia belakangan yang ia rangkum menjadi ‘Situasi Manusia Indonesia kini, dilihat dari segi kebudayaan dan nilai manusia’.

Analisanya tentang Manusia Indonesia dilihat dari berbagai aspek budaya, sosial, agama, dll, pada mulanya hanya diterbitkan oleh beberapa media cetak. Kemudian penerbit Idayu Press menerbitkannya menjadi sebuah buku dan diubah judulnya menjadi ‘Manusia Indonesia, (Sebuah Pertanggungan Jawab)’ atas persetujuan Mochtar Lubis terlebih dahulu.

Lebih dari 36 tahun (1977 hingga 2013) buku ini hadir di tangan pembaca. Mari kita bahas satu persatu ciri Manusia Indonesia tersebut dan kita kaitkan relevansinya dengan Manusia Indonesia di tahun 2013 kini.

Menurut Mochtar Lubis, sedikitnya ada enam ciri Manusia Indonesia saat itu. Hal itu ia kemukakan lewat pengamatan dan penelitiannya selama ini dilihat dari kerangka sikap dan watak perkembangan pribadi bangsa Indonesia umumnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan.

1. Ciri Pertama : Munafik
2. Ciri Kedua : Segan dan Enggan Bertanggungjawab
3. Ciri Ketiga : Jiwa Feodalistik
4. Ciri Keempat : Percaya Takhayul
5. Ciri Kelima : Artistik
6. Ciri Keenam : Watak yang Lemah

1. “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu; jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari, dan jika dipercaya berkhianat.” (HR. Bukhari, Muslim).

Adakah di antara kita yang tidak munafik? Adakah di antara kita yang tidak pernah berdusta, ingkar janji, atau berkhianat? Hadits di atas menjadi cermin buat kita semua sebagai Manusia Indonesia, apakah kita termasuk golongan orang-orang yang munafik atau tidak?

Begitu banyak perilaku kemunafikan yang terjadi di sekitar kita. Berbondong-bondong orang banyak yang berkampanye dengan janji-janji manisnya di hadapan rakyat. Berjubel-jubel orang menyaksikan betapa banyaknya perilaku-perilaku ingkar janji. Bermodal popularitas dan elektabilitas, rakyat ditipu dengan janji-janji semu. Dengan senjata ‘katakan tidak pada korupsi’, rakyat diajak membenahi negeri. Nyatanya partai yang menolak korupsi itulah yang banyak terjaring kasus korupsi.

Seorang pemimpin muda karbitan semangat dengan slogan dan jargonnya seolah-olah bisa mengubah nasib bangsa. Nyatanya, ketika diberikan tanggung jawab kecil saja sudah tak sanggup. Hal itu yang membahayakan negeri ini. Politik dan pendidikan praktis tidak akan membuat seseorang cerdas, ikhlas, dan amanah. Justru hanya membuatnya overconfident tanpa berpikir jauh atas tindakannya.

Manusia jahil ialah antara apa yang dibicarakan dengan apa yang dilakukannya tidak sesuai. Serupa seekor katak yang terperosok ke dalam sumur, ia melihat dunia hanya ada di atas kepalanya saja. Padahal dunia ini jauh terbentang. Ia mengklaim telah berbuat perubahan besar, ia mengajak orang untuk turut serta bergabung dengan golongannya. Tapi di balik itu semua, ia telah berdusta, ingkar janji, dan berkhianat.

Ada yang ia lupakan, bahwa sebelum mengajak orang serta berbuat bersamanya, semestinyalah ia perbaiki dahulu sifat munafiknya. Karena bagaimanapun, tidak ada hal yang lebih sulit daripada memimpin diri sendiri.

Sebelum kita berkata, “Perbaikilah!”, maka Ecce Homo! Lihatlah kepada diri kita sendiri, apakah kita sudah berbuat baik atau belum? Jika belum, tak sepantasnya kita mengajak apalagi memerintah kepada orang lain.

Sifat munafik hanya membuat orang atau golongan jauh akan perjuangan. Orientasinya hanya kepada tujuan tanpa mengindahkan prosesnya. Syahrir berpesan, “Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya akan menghasilkan anak banci, persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan. Hidup yang tak diperjuangkan, tak dapat dimenangkan.”

2. Segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatan, putusan, kelakuan, pikiran, dan sebagainya. Di sini, Manusia Indonesia lebih mudah untuk melemparkan tanggung jawab kepada orang lain, daripada bertanggungjawab atas kesalahan atau kegagalannya. Akan tetapi jika merupakan suatu keberhasilan, maka mereka paling depan mengatakan, itu karena saya.

Manusia yang tak bertanggungjawab biasanya mereka tidak auto-kritik. Artinya mereka mampu untuk mengkritik seseorang namun tidak menerima jika ada orang lain yang mengkritik balik kepadanya.

Jiwanya pengecut, tak sanggup menghadapi apa yang ada di depan matanya. Padahal sesuatu yang terjadi di depan matanya adalah salah satu ulahnya juga. Ia lebih nyaman berada di ketiak orang yang menjadi pelabuhannya. Ia berlindung di balik tembok atau kabur begitu saja tanpa alasan yang jelas.

Manusia macam itu akan segan memperbaiki dengan kesalahan yang telah ia perbuat. Ia tak mampu bertanggungjawab. Untuk sekadar memberi penjelasan pun ia bungkam seribu bahasa. Ia hanya berani berucap jika ada orang yang sepaham atau sepemikiran dengannya saja.

Seorang aktivis pernah berkata, “Lebih baik sebait kata yang diungkapkan daripada ribuan kalimat yang dipendam di lubuk hati.”

3. Mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan harus dihormati oleh yang dikuasai. Yang kecil dan tanpa kekuasaan harus mengabdi kepada yang besar. Segala sesuatu yang berhubungan dengan yang berkuasa, juga harus dihormati oleh mereka yang di bawahnya, isteri bawahan harus menghormat isteri atasan, anak bawahan harus menomorsatukan anak atasan, dan seterusnya.

Jiwa feodal masih tertanam subur dalam diri Manusia Indonesia. Nilai-nilai feodalisme merupakan warisan dari negara-negara kerajaan yang ada pada zaman dahulu di nusantara, lalu diambil alih oleh para penjajah, terjadi revolusi kemerdekaan yang sebenarnya bertujuan untuk menghilangkan feodalisme yang ada pada diri Manusia Indonesia.

Sikap feodal ini bersifat destruktif karena seorang bawahan akan menganggap mereka yang lebih tinggi dari mereka adalah benar dalam setiap tindakannya, ketidakbolehan dalam menyangkal walau itu salah sekalipun merupakan salah satu keburukan dari feodalisme. Selain itu juga menghancurkan harkat dan martabat manusia sebagai manusia yang sama derajatnya dengan manusia lain.

Seperti yang ada dalam zaman sekarang di mana seorang bawahan dikatakan tidak sopan jika menegur atasan karena alasan yang benar, merupakan suatu bentuk dari feodalisme. Tidak didengarnya suara mereka yang ada di bawah sebagai suara manusia juga merupakan bentuk nyata dari feodalisme yang terjadi pada manusia Indonesia.

Hanya saja kerajaan yang dimaksud sudah bukan raja lagi sebagai pemimpin namun raja-raja tersebut sudah diganti namanya menjadi presiden, menteri, jenderal, rektor, dosen, dan lainnya. Nyata sekali bahwa feodalisme menghambat proses perkembangan manusia karena tidak sampainya kritik terhadap pemimpin karena dua hal yaitu bawahan yang segan dalam melakukannya dan pemimpin yang tidak mau mendengar suara dari bawah.

4. Manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung, dan keris mempunyai kekuatan gaib. Percaya manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua untuk menyenangkan ‘mereka’ agar jangan memusuhi manusia, termasuk memberi sesajen.

”Kemudian kita membuat mantra dan semboyan baru, Tritura, Ampera, Orde Baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang adil dan merata, insan pembangunan,” ujar Mochtar Lubis.

Dia melanjutkan kritiknya, ”Sekarang kita membikin takhayul dari berbagai wujud dunia modern. Modernisasi satu takhayul baru, juga pembangunan ekonomi. Model dari negeri industri maju menjadi takhayul dan lambang baru, dengan segala mantranya yang dirumuskan dengan kenaikan GNP atau GDP.”

Latar belakang ‘agama’ asli Manusia Indonesia yang animis dan spiritis termasuk di dalamnya totemisme dan dinamisme yang sudah berakar, menjadikan apa pun agama manusia Indonesia, ia tetap mempertahankan hal-hal yang supra natural dari ‘agama’ asli tersebut.

Rasanya sia-sia saja Bapak Republik kita, Tan Malaka pernah membuat satu karya besar yang bernama Madilog (Matrealisme, Dialektika, Logika). Bangsa Indonesia memandang bahwa apa yang terjadi di dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan keramat di alam gaib. Cara pandang ini disebut Tan Malaka sebagai ‘Logika Mistika’. Logika ini melumpuhkan karena ketimbang menangani sendiri permasalahan yang dihadapi, lebih baik mengharapkan kekuatan-kekuatan gaib itu sendiri. Karena itu, Manusia Indonesia mengadakan mantra, sesajen, dan doa-doa.

Nampaknya Manusia Indonesia mesti mengkaji kembali Madilog ini untuk mengikis Logika Mistika yang telah melekat dalam jiwanya selama ratusan tahun.

5. Ciri Artistik ini selalu memperlihatkan sesuatu yang indah, baik, bagus serta mempesonakan untuk dipandang. Ciri ini bisa mampu menyimpan atau menyembunyikan keadaan sebenarnya yang ada dalam hidupnya, jiwanya, kalbunya.

Orang asing paling senang menonton nuansa artistik Manusia Indonesia ini karena memang dipertontonkan oleh Manusia Indonesia sendiri. Ciri ini mungkin datang dari sikap Manusia Indonesia yang ramah dan menyenangkan orang lain, sehingga tidak mau siapapun melihat hal-hal jelek, tidak baik, dan buruk dari dalam diri mereka.

Karena dekat dengan alam, Manusia Indonesia hidup lebih banyak dengan naluri, perasaan sensualnya, dan semua ini mengembangkan daya artistik yang dituangkan dalam ciptaan serta kerajinan artistik yang indah.

Manusia Indonesia adalah artistik, berjiwa seni, hal ini memang sudah dapat terlihat dari kayanya budaya daerah yang ada di Indonesia yang dalam tiap-tiap daerahnya memiliki keseniannya masing-masing. Kesenian merupakan hasil dari kebudayaan, dengan demikian maka masyarakat Indonesia memang memiliki jiwa berkarya dan mencintai keindahan.

Belum lagi ditemukan peninggalan-peninggalan bangunan kuno, seperti candi-candi yang menakjubkan, menandakan bahwa Manusia Indonesia memiliki peradabannya sendiri. Bahkan di masa sekarang ini musik Indonesia dikabarkan telah ‘menjajah’ negeri tetangganya Malaysia dengan adanya suatu bentuk pemboikotan terhadap radio swasta di Malaysia karena lebih sering memutar lagu artis dari Indonesia dibandingkan lagu dari artis lokalnya sendiri.

Selain itu banyak juga hasil karya asli anak bangsa yang sudah diekspor keluar negeri dan kebanyakan dari hal itu adalah karya-karya kesenian. Jadi kalau masalah seni bangsa ini tidak perlu takut, selama masih ada generasi penerus yang mau mempertahankannya maka kesenian tradisional ini akan selalu terjaga kelestariannya.

6. Manusia Indonesia kurang kuat dalam mempertahankan dan memperjuangkan keyakinan serta pendiriannya. Hal ini menjadikan Manusia Indonesia cepat berubah prinsipnya, seiring dengan tekanan yang ia dapatkan dari luar dirinya.

Mochtar Lubis mengatakan hal ini ditandai dengan adanya pelacuran-pelacuran intelektual dalam banyak bidang. Pelacuran intelektual sebagai contohnya adalah manipulasi hasil yang ditujukan agar dapat mempertahankan suatu penguasa lain. Seperti seseorang ahli pangan mengatakan bahwa tidak berbahaya menggunakan suatu produk dari produsen tertentu, padahal produk yang dijual mengandung zat yang berbahaya bagi pengkonsumsi, namun karena sudah diberikan upah, maka ahli tersebut menutupi kenyataan dan mengatakan bahwa tidak ada yang salah pada produk tersebut, sehingga dikatakan sebagai pelacuran intelektual.

Yang terjadi kini dalam pemerintahan adalah dengan adanya kebijakan-kebijakan yang bersifat menyengsarakan rakyat, para ahli yang bersangkutan pada bidangnya masing-masing tidak melakukan apa-apa walaupun tahu pada kenyatannya bahwa kebijakan yang ada itu salah, sehingga para ahli itu dapat dikatakan sebagai pelacur intelek.

Tidak kuatnya seseorang dalam mempertahankan kebenaran akan membawa keburukan bagi masyarakat luas kerena tanpa kebenaran maka yang terjadi adalah pembolak-balikkan yang menuju pada ketidak jelasan, sehingga yang terjadi adalah bergesernya nilainilai dalam masyarakat ke arah yang negatif.

Keenam ciri ini memang berkesan menjelek-jelekkan bangsa sendiri, namun dengan ini semua diharapkan tidak menjadi suatu bentuk kebencian terhadap bangsa sendiri, melainkan sebagai cermin dalam bertindak. Damn! I Love Indonesia! 

AGUNG GUNAWAN SUTRISNA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *